Selasa, Mei 31, 2005

"Mengasihi Hingga Sakit, Memberi Hingga Tak Tersisa" - 2
Oleh : Lesminingtyas

Hati saya mulai lega ketika Uwa sudah ditangani dokter. Namun rasa lega itu mulai surut ketika dokter jaga yang super jutek itu memanggil saya dan bertanya. "Situ anaknya, ya?" Belum sempat saya menjawab, dokter itu kembali menunjukkan kejutekannya "Kenapa ibunya ditinggalkan sendiri? Jagain dong! Pegangin tuh tampon dihidungnya!" kata dokter itu sambil menyerahkan beberapa gulung tampon dengan kasar "Di sini banyak pasien sedangkan dokter cuma satu, jadi yang seperti ini harus dilakukan oleh keluarga pasien sendiri!" sambungnya ketus. "Apakah tidak ada cara lain untuk menghentikan pendarahannya, Dok?" tanya saya pelan."Mau dengan cara apa? Menghentikan pendarahan orang yang sudah terlalu tua dan hipertensi seperti ini? Sangat sulit ! Tunggu saja sampai berhenti dengan sendirinya !" jawabnya tak ramah. "Berapa tensinya sekarang dok? Kemarin 180/110" saya ingin tahu. "Pembuluh darahnya pecah karena hipertensi. Sekarang tensinya 140/90" jawab dokter tanpa memalingkan wajah ke arah saya.

Walaupun sudah 1 jam di rumah sakit, hidung Uwa masih terus memancarkan darah. Karena posisi Uwa benar-benar telentang, darahnya mulai keluar dari mulut dan mengalir ke mana-mana. Sarung kesayangan Dika sudah tidak berwarna lagi, dan berubah menjadi hitam pekat oleh darah. Saya pun membuang sarung itu ke tong sampah. Karena sudah tidak ada lagi kain untuk mengelapnya, saya melepas baju hangat Uwa.

Setengah jam kemudian Uwa sadar. Pertama kali yang ditanyakan Uwa ketika sadar adalah baju hangat kesayangannya. Karena sudah basah kuyup dengan darah yang beraroma anyir, saya pun meminta ijin Uwa untuk membuang menyusul sarung Dika di tong sampah. Dalam keadaan tidak berdaya, Uwa masih saja marah. Supaya tidak terdengar oleh pasien-pasien lain di UGD, saya pun berbisik "Sudah lah, besok saya belikan lagi baju hangat yang kayak gitu empat sekaligus!"

Walaupun Uwa ngedumel nggak karuan, tangan kiri saya masih memegangi tampon, sementara tangan kanan terus mengelap darah Uwa yang "ngacai" dari mulutnya. "Tuhan, mengapa Engkau uji saya seberat ini?" keluh saya.

Ketika mata saya melirik, mendapati bahwa jam di ruang UGD telah menunjukkan pukul 22.00. Saya panik sekali memikirkan anak-anak saya yang belum makan dan berada di rumah tanpa pengawasan orang dewasa. Saya takut anak-anak menyalakan kompor sendiri untuk membuat makanan gara-gara kelaparan. Saya juga kuatir anak-anak lupa mengunci pintu dan jendela. Banyak sekali kekuatiran saya akan keadaan anak-anak di rumah. Terlebih angka kejahatan di Bogor cukup tinggi.

Saat juru rawat melintas di dekat saya, saya pun meminta bantuan untuk mengurus Uwa karena saya akan menelpon ke rumah. Saya segera lari ke luar. Sebelum menelpon anak-anak, saya berusaha meminta kesabaran tukang ojek untuk tetap menemani saya. Tukang ojek itu pun tampaknya mengerti kekalutan saya. Sambil membersihkan sisa-sisa darah yang mengering di baju, saya mencoba menelpon ke rumah. Lama sekali telepon tidak diangkat. Rasanya ingin sekali saya terbang ke rumah supaya tahu apa yang terjadi.

Kurang lebih satu menit telepon di rumah baru diangkat. "Halo, ibu ya? Ibu kok nggak pulang-pulang...cari duit sampai malam ya?!" tanya Mika yang merasa yakin kalau yang menelpon itu saya. Tanpa menjawab pertanyaan Mika, saya langsung memberi instruksi kepada Mika "Dik, tolong teleponnya kasih Mas Dika!" Dengan setengah cedal Mika menjawab "Mas Dika udah tidul" "Bangunkan Mas Dika, bilang ada telepon dari ibu!" perintah saya kepada Mika yang umurnya baru 3 tahun."Ya, ya, ya.dadah ibu!" jawab Mika langsung menutup telepon.

Saya kembali mencoba menelpon berkali-kali, tapi tidak ada yang mengakat. Saya menduga Mika sedang berusaha membangunkan Dika yang memang agak susah dibangunkan. Kira-kira 3 menit saya mencoba menelepon, akhirnya Dika pun mengangkat telepon. "Ibu kok lama sekali sih? Dika sama adik sudah kepalaran, tapi ibu nggak pulang-pulang. Tadi waktu ibu pergi adik nangis terus, sampai muntah. Dika repot banget nich ngurusin adik. Ibu sekarang dimana sih?" tanya Dika dengan nada kesal. "Dika, ibu masih di rumah sakit. Sekarang pintu dan jendelanyadi.....(tit!)" belum sempat memberikan pesan, telepon saya mati karena baterainya habis.

Melihat saya mondar-mandir mencari telepon umum, tukang ojek itu meminjamkan ponselnya kepada saya. Begitu telepon tersambung, tanpa membuang waktu saya berpesan "Dika, makan seadanya dulu. Semua pintu dan jendela..(tit)!" ponsel si tukang ojek itu pun nasibnya sama dengan ponsel saya. Saat itu saya benar-benar tidak bisa menahan tangis. Saya benar-benar mengkuatirkan keadaan anak-anak di rumah. Saya ingin sekali untuk segera pulang ke rumah, tetapi dokter belum mengijinkan saya pergi.

Ketika saya masuk ke UGD lagi, darah Uwa sudah tidak terlalu deras. Jururawat menyuntikkan beberapa macam obat melalui selang infuse. Uwa juga sudahbisa memegangi sendiri tampon di hidungnya. Beberapa menit kemudian saya dipanggil oleh kasir untuk membayar biaya tindakan dan obat-obatan. Karena saya tidak membawa uang tunai, saya meminta tukang ojek untuk menunggui Uwa,sementara saya mengambil uang di ATM.

Malam itu saya berjalan keluar dari komplek RS sambil menangis. Saya menangis untuk banyak hal. Selain mengkuatirkan keadaan anak-anak di rumah, juga mengkuatirkan keadaan Uwa di rumah sakit. Ditambah lagi, saya yang terbiasa mengelola gaji dengan perencanaan yang ketat, rasanya cukup dipusingkan dengan pengeluaran besar yang tidak ada dalam rencana ERT (Ekonomi Rumah Tangga) saya. Kalau saya mengambil uang gaji di ATM BNI, pasti kehidupan kami selama sebulan serta tagihan rumah, telepon, listrik, asuransi pendidikan dan tabungan kesehatan anak-anak pasti kacau balau. Kalau saya mengambil tabungan pendidikan di ATM Lippo, saya kuatir proses kelanjutan sekolah Dika ke SMP terganggu. Akhirnya malam itu saya putuskan menguras semua tabungan kesehatan anak-anak dari ATM BCA. Saya pun naik becak menembus gelapnya malam kota Bogor menuju ATM BCA yang jaraknya kurang lebih 500 meter dari RS.

Setelah saya menyelesaikan pembayaran di kasir, juru rawat memanggil saya untuk mendatangani persetujuan rawat inap untuk Uwa. Karena juru rawat itu tahu kalau Uwa adalah pembantu saya, ia pun menyarankan saya untuk memilih kamar kelas 3 saja. Saya pun tidak mampu berpikir lagi kecuali mengiyakannya dan berbisik "Tolong ya Mas, usahakan semua urusan malam ini cepat selesai, karena saya harus segera pulang. Anak-anak saya yang masih kecil, sekarang ini di rumah sendirian". "Ibu telpon tetangga dulu untuk minta tolong mereka menjaga anak-anak ibu" juru rawat yang ramah itu menyarankan. "Boro-boro nelpon tetangga Mas, mau nelpon anak sendiri saja tidak bisa karena baterainya habis" jawab saya masih tegang.

Supaya cepat selesai, saya membantu juru rawat itu membawa berkas status pasien dan mendorong kereta dorong ke kamar perawatan di kelas 3, sementara juru rawat menarik kereta itu. Saya kaget ketika tiba-tiba juru rawat menarik kereta pasien masuk ke ruang isolasi. Saya pun deg-degan dan dengan reflek bertanya "Lho, lho, lho! Mas, memangnya penyakit ini menular, kok sampai harus diisolasi?" "Bukan karena menular Bu, tapi kalau pasien ini dicampur dengan pasien lain, dikuatirkan yang lain pada takut atau jijik" jawab juru rawat itu." "Tapi kan kasihan Mas, ibu ini sudah tua sekali dan tidak ada yang menjaga. Kalau nanti terjadi sesuatu dan tidak ada orang yang melihatnya, bagaimana?" tanya saya sambil meminta belas kasihan.

Uwa yang sudah dibaringkan di ruang isolasi kembali kami angkat ke kereta dorong untuk dipindahkan ke barak RPU supaya bisa sekamar bersama belasan pasien lain. Ketika Uwa sudah berada di barak pasien, saya pun berpamitan kepada juru rawat sambil menitipkan Uwa. Tiga juru rawat yang bertugas malam itu dengan kompak memarahi saya. Saya pun berusaha merendah dan memohon pengertian para perawat itu. "Maaf Suster, saya tidak mungkin menungguinya di rumah sakit. Saya juga butuh ganti baju dan mengambilkan baju ganti untuk pasien!" saya memberikan alasan. "Gila ! Ibu ini nggak punya otak, kali ya? Masak tega meninggalkan ibunya yang sudah berumur 67 tahun sendirian di rumah sakit" kata salah satu jururawat.

Sebenarnya saya ingin menjawab "Justru karena saya punya otak, saya harus pulang untuk mengurus anak-anak saya" Namun karena saya tidak ingin berdebat, sayapun menjawab dengan halus "Maaf Suster, saat ini anak-anaksaya di rumah tidak ada yang menjaga. Saya meninggalkan anak yang berumur 3 tahun hanya bersama kakaknya yang masih kecil juga! Tolonglah Bu, mohon pengertiannya. Saya akan bertanggung jawab semua biaya pengobatan untuk pasien, tapi saya tidak mungkin ditahan disini. Besok pagi sebelum saya berangkat kerja, saya akan ke sini mengantar baju ganti untuk pasien"

"Memangnya suami ibu kemana? Ibu nggak punya suami ya?" tanya seorang perawat ketus. Ingin sekali saya menjawab "It is not your business!". Namun belum sempat saya menjawab, seorang perawat dengan sinis berkata "Kalau ibu nggak mau mengurus sendiri, sebaiknya pindahkan pasien ke ruang VVIP yang mahal, jangan cuma di kelas 3 yang murah-murah seperti ini dong!"

Sedetik kemudian perawat dari UGD itu mengedip-ngedipkan matanya memberi isyarat kepada saya. Saya menterjemahkan isyarat tersebut dengan "uang". Tanpa menunggu lagi, saya pun menarik beberapa lembar uang lima puluh ribuan dari dompet. Juru rawat UGD itupun menganggukkan kepala tanda setuju. Tanpa banyak bicara, saya pun meletakkan beberapa lembar uang itu di meja yang ada di depan ketiga perawat yang beramai-ramai "mengadili saya".

"Ibu, bukan kami tidak mau mengurus pasien Bu, tapi kalau tidak ada keluarga yang menunggu, siapa yang harus bertanggung jawab kalau pasien meninggal?" kata seorang perawat yang mulai lembut.
"Ya, kalau memang Tuhan menghendaki pasien itu meninggal, kita mau apalagi?" jawab saya pelan.
"Benar nich, kalau ada apa-apa sehingga pasien meninggal, Ibu tidak menyalahkan atau menuntut kami?" tanya perawat yang lain tak kalah lembutnya.
"Kalau Tuhan yang memanggil, kenapa saya harus protes?!" jawab saya pelan "Malam ini saya mohon bantuan Suster di sini, karena saya harus pulang. Besok pagi saya akan ke sini membawakan baju-baju yang bersih untuk pasien. Kalau malam ini ada apa-apa atau butuh sesuatu, Suster bisa menelpon saya kapan saja" saya menjamin. "Jadi, kalau nanti kami telpon malam-malam, ibu tetap bersedia datang ke mari khan?!" tanya perawat lainnya dengan sopan. "Saya janji Suster! Paling tidak, kalau saya sudah sampai di rumah, saya bisa menitipkan anak-anak dulu ke tetangga" jawab saya pelan.

Sebelum saya meninggalkan RS, suster di kamar perawatan meminta saya untuk menebus obat yang harganya hampir satu juta rupiah. Saya pun kembali mengeluarkan uang lebih dari yang seharusnya dan menyerahkan kepada perawat yang mau membantu saya membelikan obat untuk Uwa di apotik. Saya melakukan hal itu karena bagi saya waktu sangat penting untuk segera tahu keadaan anak-anak.

Akhirnya jam 22.30 saya bisa meninggalkan rumah sakit. Saya pun bersama tukang ojek segera naik angkot menuju klinik 24 jam dimana motor milik tukang ojek itu dititipkan. Dari klinik 24 jam itu saya diantar ke rumah oleh tukang ojek.

Betapa kagetnya saya ketika saya mendapati pintu pagar dan pintu rumah terbuka lebar. Saya minta tolong tukang ojek untuk menemani saya sampai diteras. Jantung saya berdebar-debar ketika tak satupun anak saya yang menyahut panggilan saya. Saya hampir berteriak ketika mendapati Mika yang tertidur di karpet tak jauh dari muntahannya. Dika sendiri tertidur dilantai. Ketika saya yakin tidak terjadi sesuatu pada anak-anak saya, sayapun memberikan uang kepada tukang ojek sebagai ganti penghasilannya malam itu.Sambil memanasi air untuk mandi, saya mengelap muka dan kaki anak-anak dan memindahkan mereka ke kamar masing-masing. Melihat wajah anak-anak yang tidak berdaya, saya merasa sangat bersalah karena telah menelantarkan mereka. Saya pikir kalau sampai terjadi sesuatu pada mereka, saya tidak bisa mengampuni saya sendiri. Malam itu saya menangis, menyesali diri karena tidak bisa menjaga mereka dengan baik. Terlebih lagi ketika melihat sisa mie instant yang Dika rebus tidak sempurna dengan rantang, hati saya sangat miris membayangkan betapa mereka sangat kelaparan menunggu saya yang tidak segera pulang malam itu.

Ketika air sudah panas, saya pun membuka baju untuk mandi. Saya kaget sekali ternyata baju yang saya kenakan malam itu adalah baju putih terbaru yang saya beli dengan harga cukup mahal. Saya pun harus merelakan baju kesayangan yang baru dua kali saya pakai itu tidak seputih dulu lagi. Saya yang biasanya merawat dan mencuci baju kesayangan dengan tangan saya sendiri, mau tidak mau harus merelakan baju tersebut di cuci oleh pembantu/tukang cuci karena saya tidak tahan dengan bau anyir yang menyengat.

Sampai tengah malam saya tidak bisa tidur. Di satu sisi saya masih terus merasa bersalah karena telah menelantarkan anak-anak. Di sisi lain saya juga menyesal karena saya merasa tidak bisa memperlakukan Uwa dengan kasih. Saya sangat menyesal karena selama menyangga tubuh Uwa di angkot, hati saya tidak merelakan 100% Uwa bersandar di dada saya. Selama di angkot saya masih merasa jijik dan bersikap seperti robot yang harus menjalankan tugas kemanusiaan. Apa yang saya lakukan terhadap Uwa sesungguhnya bukan kasih yang keluar dari hati yang paling dalam. Saya hanya memperlalukan Uwa masih sebatas memperlakukannya sebagai pembantu, bukan selayaknya saya melayani Tuhan.

Saya menangis karena kuatir kalau-kalau Uwa meninggal dan saya belum sempat menebus kesalahan dengan memperlakukannya seperti yang Tuhan Yesus kehendaki. Di tengah-tengah kegalauan hati saya, tiba-tiba telepon berdering. Badan saya lemas sekali. Sebelum sampai di meja telepon, saya terjatuh. Tangis saya kontan meledak "Tuhan Yesus, tolong saya ! Jangan panggil Uwa sekarang karena saya belum memperlakukannya seperti yang Engkau kehendaki !" teriak saya yang yakin bahwa telepon itu dari RS.

"Hallo" kata saya sambil menangis. "Jangan nangis, besok pagi bapak berangkat ke Bogor. Tolong kamu cari orang yang bisa dibayar untuk mengurus Uwa karena tidak ada satu pun anaknya yang mau mengurus Uwa" kata bapak saya. "Iya, ya, ya ! Bapak cepat ke sini ya, anak-anak terlantar nich" kata saya gugup karena saking takutnya.

Semalaman saya tidak bisa tidur karena bingung membagi waktu untuk esok paginya. Saya juga bingung karena esoknya saya harus menyelesaikan bahan presentasi yang akan dibawa boss ke luar negeri. Saya juga bingung bagaimana harus menjaga Mika sampai pembantu yang satunya datang jam 12.00, sedangkan Uwa memerlukan baju bersih dan selimut secepatnya. Malam itu saya benar-benar kalut dan menangis di depan komputer sambil curhat dan minta dukungan doa dari beberapa teman milis. Sebelum mematikan komputer, saya pun berdoa "Tuhan Yesus, ampuni kesalahan saya hari ini. Saya tidak tahu berapa lama lagi Engkau uji saya, tapi saya percaya Engkau sendiri yang akan memampukan saya melewati ujian-ujian itu"

-bersambung-

Tidak ada komentar: