"Mengasihi Hingga Sakit, Memberi Hingga Tak Tersisa" - 3
Oleh : Lesminingtyas
Oleh : Lesminingtyas
Kurang lebih jam 03.30 anak-anak saya bangunkan. Setelah mandi dengan air panas yang saya siapkan, Dika menyiapkan sendiri sarapan pagi dan bekal makanan yang akan di bawa ke sekolah. Saya sendiri menyiapkan saparan untuk Mika dan bekal makan siang saya untuk di kantor nanti. Setelah selesai memandikan Mika saya segera bergegas pergi ke rumah sakit untuk melihat keadaan Uwa, sembari pergi ke kantor. Sebelum melangkah ke luar rumah, saya menelpon seorang tetangga yang akan menolong saya untuk menjaga Mika selama saya tinggal bekerja.
Pagi itu saya harus meninggalkan Mika dengan sarapannya. Walaupun saya tahu kalau Mika makan tanpa pengawasan selalu menggunakan tangan kirinya hingga makanan tumpah ke mana-mana mirip makanan ayam, tetapi tidak ada pilihan lain, karena saya tidak mungkin mengambil cuti dadakan. Hanya Dika yang masih bisa menemani Mika sambil menunggu mobil jemputan sekolahnya datang pada pukul 06.00 nanti. Sebenarnya saya dan para tetangga sudah berusaha merayu Mika untuk tinggal di rumah tetangga selama Dika sekolah, tetapi Mika selalu menjawab "Mika nggak mau..Mika sudah punya rumah sendiri". Itulah sebabnya beberapa tetangga bersepakat untuk menemani Mika di rumah secara bergiliran.
Jam 04.30 saya cepat-cepat pergi ke rumah sakit, supaya jam 05.30 saya bisa sampai di tempat pemberhentian bis jemputan langganan saya. Sayang sekali begitu sampai di rumah sakit banyak sekali tugas kemanusiaan yang harus saya lakukan. Selain mengganti baju Uwa yang kotor penuh darah yang sudah mengering, saya juga harus mengelap badan Uwa dengan air hangat yang disediakan oleh RS. Jijik sekali rasanya. Selain saya tak pernah membayangkan akan memandikan seorang pembantu, saya juga tidak siap menggunakan peralatan rumah sakit yang biasa dipakai beramai-ramai itu.
Hati saya sungguh tidak siap melihat sikap Uwa yang semakin sulit dimengerti. Rasanya sudah sewajarnya kalau Uwa berterima kasih setelah saya menelantarkan anak-anak demi mengurus Uwa. Saya sungguh tidak menyangka ketika Uwa marah-marah di depan belasan pasien yang lain ketika saya kurang tepat meletakkan pispot sehingga kencing Uwa sedikit tercecer. Walaupun perut saya sangat mual saat membuang kencing Uwa ke kamar mandi, namun Uwa masih saja menuntut lebih.
Karena Uwa sudah bisa saya dudukkan, saya mencoba melepas stagen dan kainpanjang yang dikenakannya. Ketika saya salah melilitkan kain panjang ketubuh Uwa, dengan arah terbaik dari yang seharusnya, Uwa kembali memarahisaya. Bahkan ketika saya jongkok membetulkan kain di bagian kaki Uwa, Uwamenggerakkan kakinya dengan kasar hampir mengenai muka saya. Hampir sajakesabaran saya habis. Ujung bibir saya hampir tak mampu menahan kalimat yangrasanya pantas untuk saya lontarkan "Emang lu siapa?"
Ingin rasanya saya mengembalikan Uwa pada posisi yang seharusnya, yaitusebagai pembantu. Namun, lagi-lagi saya teringat bahwa ini adalah ujian dariTuhan. Segala sesuatu Tuhan ijinkan terjadi pada diri saya, demi kebaikansaya sendiri. Hampir saja mengingatkan bahwa Uwa adalah pembantu dan sayaadalah majikan yang harus dihormatinya sehingga tidak ada kewajiban bagisaya untuk mengabdi kepadanya. Namun ketika kesombongan itu muncul,tiba-tiba saya merinding membayangkan jika saya tidak sepenuh hati melayaniUwa, jangan-jangan wajah Uwa tiba-tiba berubah menjadi wajah Tuhan Yesus.
Karena terlalu banyak permintaan Uwa, pagi itu saya tidak bisa cepat-cepat meninggalkan RS. Saya pun harus pergi ke kantor dengan kendaraan umum karena sudah ketinggalan bis jemputan. Sudah bisa diduga, kartu absent saya hari itu merah. Tidak main-main, karena 1 menit keterlambatan berarti bonus akhir tahun dipotong sepersekian persennya.
Selama di kantor, saya tidak tahu lagi apakah saya ini tidur sambil duduk atau duduk sambil tidur. Terpaksa saya harus doping dengan multi vitamin dan kopi susu supaya mata bisa diajak melek. Saya sengaja menyelesaikan bahan presentasi yang akan dibawa boss ke luar negeri, supaya waktu selebihnya bisa saya gunakan untuk mengerjakan tugas-tugas kesekretarisan yang agak ringan.
Rasanya makan siang hari itu tidak lagi bisa saya nikmati. Targetnya hanya memasukkan makanan ke dalam perut. Saking ngantuknya, waktu istirahat makan siang yang hanya 30 menit itu saya gunakan 10 menit untuk makan siang dan selebihnya saya pakai untuk tidur di sofa.
Sepulang kerja, sebenarnya saya ingin mampir ke RS seperti yang Uwa minta. Tapi perasaan saya tidak enak karena ingin segera melihat keadaan anak-anak di rumah. Begitu sampai di rumah, saya baru sadar bahwa paginya saya terlalu buru-buru pergi hingga lupa menyiapkan makanan siang untuk anak-anak. Untung saja tetangga yang menemani Mika berinisiatif memasakkan nasi dan menggoreng telor untuk anak-anak.
Malam itu saya tidak punya energi lagi untuk menyiapkan makan malam. Seperti biasanya kalau lagi malas masak, saya meminta Dika membeli japcay di depot mie bangka. Ketika saya menunggui anak-anak makan, saya tertidur di meja makan saking lelahnya. Rencana menjenguk Uwa ke RS malam itu pun batal. Resikonya, saat saya menjenguk ke RS nanti Uwa pasti tak henti-hentikan "menyanyikan" lagu wajib yang semuanya berisi kekecewaan dan kemarahan. Tapi apa hendak dikata, untuk mengontrol anak-anak cuci kaki dan gosok gigi saja, malam itu saya sudah tak sanggup.
Esok paginya, seperti biasa saya membuatkan sarapan untuk anak-anak. Untuk makan siang, saya hanya menyiapkan nasi putih karena saya yakin bapak datang dari kampung membawakan lauk buatan ibu seperti biasanya. Namun karena bapak pergi terburu-buru, dugaan saya kali itu meleset. Bapak yang tidak pernah menuntut dilayani itupun mengajak Dika memasak dari bahan-bahan mentah yang ada di kulkas.
Sore itu saya berencana pergi ke RS setelah mengurus anak-anak dan menyambut kedatangan bapak. Begitu selesai memandikan Mika, saya dan anak-anak menemani bapak minum teh di ruang tamu. Anak-anak saya biarkan "gelendotan" di badan mbah kakungnya, sementara saya merebahkan badan di sofa sambil mendengar kabar keluarga dan suasana di kampung dari bapak. Entah sampai mana saya mendengar cerita bapak, tapi tertidur pulas saat mendengar kisah seru yang bapak ceritakan, memang sudah biasa terjadi sejak saya kecil dulu. Bapak yang tahu kebiasaan buruk saya, memang sudah maklum. Terlebih lagi sore itu saya benar-benar lelah.
Kira-kira jam 20.30 saya dibangunkan Dika karena ada telepon dari RS. Masih setengah tertidur saya menggapai gagang telepon. Saya benar-benar kaget ketika perawat yang menelpon itu meminta saya untuk datang ke RS malam itu juga.
"Ada apa suster? Memangnya pasien dalam keadaan gawat?" tanya saya panik.
"Bukan Bu! Malam ini pasien memerlukan obat suntik yang harus ibu beli sendiri di apotik" jawab si penelpon. "Apakah tidak bisa dibelikan dulu oleh rumah sakit, terus nanti dimasukkan ke dalam tagihan" saya menawar. "Maaf Bu, untuk pasien kelas 3 tidak ada pelayanan semacam itu. Kalau keluarga Ibu dirawat di VVIP, kami bisa membantu. Untuk pasien kelas 3, keluarga pasien harus membeli obat sendiri" jawab si penelpon kurang bersahabat. "Bagaimana kalau misalnya saya datang besok pagi?" saya masih menawar.
"Maaf Bu, ini emergency. Dokter minta obat tersebut harus segera disuntikkan karena kondisi pasien sangat lemah dan HBnya tinggal 6 saja" kata sipenelpon dengan nada memerintah.
"Kalau begitu, bisa nggak obat tersebut cepat dibelikan dulu dan malam inijuga saya akan datang membayar semua harga obat" saya memohon kebijaksanaan.
"Maaf Bu, obatnya sangat mahal dan ibu harus membeli sendiri di apotik. Kami tidak bisa membantu" jawabnya singkat.
Begitu menutup telepon, badan saya rasanya makin loyo saja. Walaupun perjalanan ke RS cuma kira-kira 30 menit, rasanya saya menghadapi perjalanan yang panjang dan melelahkan. Sambil terdiam menahan segala rasa yang berkecamuk, saya mengambil jaket water proof di lemari gantung. Saya memang biasa mengenakan jaket tersebut sebagai pengganti payung supaya saya bisa bergerak lebih cepat dan lincah walaupun dalam keadaan hujan.
Ketika saya melewati teras di mana anak-anak dan mbah kakungnya sedang makan mie tek-tek, hati saya rasanya kelu sekali. Rasanya saya sudah terlalu banyak mengabaikan mereka hanya untuk mengurus Uwa di RS. Wajah saya yang lelah menahan tangis terbaca oleh bapak. "Lakukan segala sesuatu dengan suka cita. Kalau memang masih lelah, duduk-duduk sebentar sambil makan mie panas biar agak rileks" bapak berusaha menghibur. Saya hanya menggeleng.
Saya sudah berusaha menutupi kesesakan hati saya, tetapi akhirnya toh tidak berhasil menahan air mata. "Nggak usah nangis! Semua ini ujian dari Tuhan dan kamu harus setia menerima dan menjalaninya" bapak menasehati. "Apakah ujian-ujian yang selama ini belum cukup?" tanya saya lirih sambil menangis.
"Belum! Masih banyak yang harus kamu pelajari dalam hidup ini" jawab bapak.
"Dari semua anak bapak, tidak ada yang diuji Tuhan seberat saya. Saya ingat sekali, dulu waktu saya TK, saya tidak bisa bermain sebebas kakak-kakak yang lain. Waktu itu justru saya yang paling bontot yang harus melayani ibu buang air di pispot selama ibu sakit" kata saya sambil terisak, mengingat masa lalu di mana saya harus drop out dari TK.
"Dulu semua kakakmu kan sudah bersekolah, jadi cuma kamu yang masih TK yang bisa membolos" bapak meminta pengertian.
"Tapi, waktu lulus SMA dulu saya juga dikorbankan tidak bisa ikut bimbingan tes dan seleksi UMPTN karena harus merawat Pak Dhe. Kakak-kakak yang lebih disayang Pak Dhe saat sehat, justru bisa cuek" saya mencoba mengingat betapa berat ujian yang saya alami.
"Itulah ujian dari Tuhan, supaya kamu bisa belajar melayani orang yangsehari-harinya tidak menyayangimu" bapak terus berusaha menghibur.
"Sekarang ini saya benar-benar ibarat sudah jatuh tertimpa tangga juga. Badan saya rasanya sudah remuk, anak-anak tidak terurus, masih juga harus mengurus Uwa yang nggak tahu diri. Kakak yang dulu selalu disayang Uwa, tidak ada perhatian sama sekali. Semua masalah sekarang ditimpakan pada saya " saya memuntahkan kelelahan batin saya.
"Kamu nggak boleh bicara seperti itu, pandanglah semua itu sebagai ujian dari Tuhan untuk mengajar kamu supaya menjadi pribadi pengampun yang tegar dan tangguh. Karena kamu sudah melewati ujian-ujian yang belum pernah kakak-kakakmu alami, bapak justru merasa tenang dan lebih siap meninggalkan kamu kalau bapak dipanggil Tuhan nantinya. Kalau bapak meninggal, rasanya bapak tidak ragu lagi meninggalkan kamu yang lebih tangguh dari kakak-kakakmu. Nah, kamu seharusnya mensyukuri ujian-ujian berat itu sebagai berkat Tuhan" bapak berusaha membesarkan hati saya.
Setelah sedikit lega, saya menitipkan anak-anak pada bapak. Tak menunggu waktu lagi, saya bergegas ke rumah sakit. Malam itu saya menembus gelapnya malam yang diselimuti gerimis dan kabut tipis.
Sesampainya di RS saya langsung menuju ke ruang perawat untuk mengambil resep yang ditinggalkan dokter. Tak menunggu lama, begitu kertas resep itu di tangan, saya melangkah secepat kilat menuju apotik yang berjarak kurang lebih 100 meter dari kamar perawatan. Saya duduk di kursi tunggu sambil melepas kepenatan yang hampir tak berujung. Saya kaget setengah mati ketika petugas apotik menyebutkan sejumlah rupiah yang harus saya bayar. Jantung saya hampir copot karena malam itu saya harus kembali menguras habis seluruh isi dompet saya.
Sebenarnya begitu obat sudah ditebus, saya ingin sekali segera meninggalkan lingkungan yang memuakkan itu. Saya benar-benar malas menengok Uwa. Tapi apa daya, saya tidak punya ongkos untuk pulang ke rumah. Tidak ada pilihan lain selain menjenguk Uwa di kamar perawatan sekaligus meminjam uang untuk ongkos pulang. Saya tahu persis Uwa pasti punya simpanan uang di stagennya.
Sudah bisa diduga, saya kembali kena damprat Uwa, gara-gara datang terlalu malam. Omelan Uwa kali ini cukup keras hingga didengar oleh semua pasien dibarak itu. Dengan gaya memerintah, Uwa menyuruh saya mengambil pispot danmelayaninya untuk buang air kecil. Dengan gaya "setengah budek" sayamelayani Uwa tanpa berucap sedikitpun."Kalau saja ada kenalan di sekitar rumah sakit, malam ini saya nggak perlumeminjam uang Uwa dan kena semprot gaya majikan tuwa itu" pikir saya dalamhati.
Saya tidak tahu apa yang diceritakan Uwa kepada sesama pasien dan orang-orang yang menunggu di bangsal itu. Namun, kepergian saya malam itu diiringi dengan tatapan sinis dan komentar tak mengenakkan. Seorang ibu jutek dengan logat Sundanya yang kental menyindir saya sebagai anak durhaka yang tidak memperlakukan orang tuanya dengan baik. Walaupun sedikit gondok, saya masih berusaha melangkah dengan kepala tegak. "Ya, justru karena saya bukan anak durhaka, malam ini saya harus pulang untuk mengurus orang tua saya sendiri, yang sejak kedatangannya jauh-jauh dari kampung tidak saya sambut sebagaimana mestinya" kata saya dalam hati.
-bersambung-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar