Sabtu, Juni 18, 2005

Jangan Membiasakan Menjepit Gagang Telpon

Tonjolan tulang dapat memutuskan saluran pembuluh darah dan memicu stroke. Peringatan berikut ini mungkin perlu di perhatikan benar oleh para sekretaris, operator, konsultan, dokter dan para karyawan yang sering menggunakan telepon.

Ingat, janganlah terlampau sering melepaskan gagang telepon daritangan anda dan meletakkannya di antara pundak dan telinga, sementara tangan melakukan aktivitas lain. Konon, perilaku semacam itu bisa menyebabkan stroke. Demikian dikemukakan seorang ahli syaraf asal Perancis pada Jurnal
Kesehatan beberapa waktu lalu.

Seorang psikiater yang biasa berbicara lewat telepon yang terjepit di telinga kiri dan pundaknya lebih dari satu jam, dilaporkan menderita stroke ringan. Kejadian nahas itu terjadi akibat adanya tonjolan tulang yang memutuskan saluran pembuluh nadi. Menurut tim dokter yang meneliti kasus tersebut, pria berusia 43 tahun yang terbiasa berbicara dengan pasien-pasiennya pada mulanya sehat-sehat saja.

Namun, seusai memberikan konsultasi kepada pasiennya di psikiater ini mengeluhkan kebutaan sementara pada mata kirinya, telinga kirinya pun seperti merasakan sebuah dengung. Tak hanya itu, dia pun mengaku kesulitan untuk berbicara. Kondisi ini menunjukkan bahwa dirinya menderita stroke ringan.

Dari hasil pemindahan tampaklah adanya sobekan pada dinding arteri bagian dalam dari organ tubuh si pria tadi. Sobekan tadi jelas mempengaruhi saluran pengiriman darah yang menuju ke otak. Seperti diketahui, pada tubuh manusia terdapat dua kelenjar arteri yang bertugas menyalurkan darah yang mengandung oksigen dari jantung menuju kepala dan leher. Kedua saluran arteri tersebut naik di kedua sisi leher, dari jantung menuju otak. Pada gambar scanning tampaklah adanya sebuah peruncingan tulang yang lazim di sebut sebagai proses stiloid, yang menyebabkan adanya kontak antara tulang (pada bagian leher) dengan arteri.

Sebenarnya, setiap orang memiliki dua tulang stiboid ini. Keduanya menonjol dari dua sisi tulang tengkorak,tepat di bawah telinga dan di belakang tulang rahang. Namun, tulang yang dimiliki psikiater tadi lebih panjang dari biasanya.

Mathieu Zuber, ahli syaraf dari rumah sakit Saint Anne, Paris
mengatakan, "Untungnya pasien ini hanya mengalami serangan insemik berkala, atau terjadi penghentian suplai darah menuju otak yang kurang dari 24 jam". Dengan begitu, hanya stroke ringanlah yang menyerang psikiater yang biasa bertelepon dengan pasiennya tadi. "Namun, kejadian ini menunjukkan kepada kita bahwa aktivitas setiap hari yang melibatkan penyimpangan agak lama di bagian leher, seperti menggunakan telepon dengan menghimpit antara telinga dan pundak, bisa menimbulkan masalah yang tidak terduga bagi sebagian orang," tambahnya.

Ia menambahkan, psikiater tersebut tidak mengalami gejala stroke terlalu lama. Namun, sejak kejadian itu, ia tidak mau lagi melakukan pembicaraan dengan cara menghimpit telepon di antara telinga dan pundaknya saat melayani keluhan pasien-pasiennya, oleh sebab itu mulai dari sekarang hilangkan kebiasaan tersebut

"lebih baik mencegah sebelum hal itu terjadi pada kita semua"

Jumat, Juni 17, 2005

TUKANG CUKUR........ Image hosted by Photobucket.com

Ada seorang tukang cukur tua yang baik hati disebuah kota di United States.

Suatu hari seorang penjual bunga datang kepadanya untuk memotong rambut. Selesai potong rambut, dia bermaksud membayar tetapi tukang cukur menjawab :

"Maaf, saya tidak dapat menerima uang dari mu. Saya melakukan pelayanan".

Sipenjual bunga sangat gembira dan meninggalkan tukang cukur tersebut.
Pada keesokan paginya, ketika si tukang cukur membuka toko, ada sebuah kartu ucapan terima kasih dan selusin bunga mawar yang telah menanti di depan pintu.

Seorang polisi datang untuk potong rambut dan dia pun bermaksud membayar setelah selesai dipotong rambutnya. Tetapi, si tukang cukur pun menjawab :

"Maaf, saya tidak dapat menerima uang dari mu. Saya melakukan pelayanan".

Si polisi pun sangat gembira dan meninggalkan tukang cukur tersebut.
Pada keesokan paginya,ketika si tukang cukur membuka toko, ada sebuah kartu ucapan terima kasih dan selusin donat yang telah menanti didepan pintu.

Dihari berikutnya datanglah seorang software engineer dari Indonesia untuk potong rambut, ketika dia hendak membayar, si tukang cukur pun menjawab :

"Maaf, saya tidak dapat menerima uang dari mu. Saya melakukan pelayanan".

Si software engineering dari Indonesia pun amat sangat gembira dan meninggalkan tukang cukur tersebut. Pada keesokan paginya, ketika si tukang cukur membuka toko... coba tebak !!! apa yang tukang cukur temukan di depan pintu ????????????????????????????







Dapatkah kamu menebaknya ???????????







Apakah kamu belum tau jawabannya????????????








Ayo.........Berfikirlah SEBAGAI ORANG INDONESIA......!!!!!! Image hosted by Photobucket.com











Ok!!!!!OK!!!!!!!!!!!!!!!

Selusin orang Indonesia telah menunggu untuk potong rambut GRATIS !!!!!Image hosted by Photobucket.comImage hosted by Photobucket.com

adduuuuhhh...ini penghinaan ato kenyataan siiihhhhhhhh...? jangan2 g termasuk barisan dari mereka...hiksss...Image hosted by Photobucket.comImage hosted by Photobucket.comImage hosted by Photobucket.com

Kamis, Juni 16, 2005

KISAH KEMANUSIAAN DI NEGERI TERCINTA

Today g pengin nge-post 2 buah puisi yg didedikasikan tuk seorang anak perempuan yg meninggal dunia tp utk pemakamannya dibawa bapaknya dg KRL. Kisah ini telah banyak menuai simpati dari banyak orang dan mempertanyakan dimanakah perlindungan pemerintah utk orang2 miskin dinegeri ini, sehingga seorang bapak kesulitan memakamkan anaknya yg telah meninggal dunia.... Image hosted by Photobucket.comImage hosted by Photobucket.com

KISAH DARI NEGERI YANG MENGGIGIL
Dari M Faiz buat adinda Khaerunisa

Kesedihan adalah kumpulan layang-layang hitam
yang membayangi dan terus mengikuti
hinggap pada kata-kata
yang tak pernah sanggup kususun
juga untukmu, adik kecil

Belum lama kudengar berita pilu
yang membuat tangis seakan tak berarti
saat para bayi yang tinggal belulang
mati dikerumuni lalat karena busung lapar

: aku bertanya pada diri sendiri
benarkah ini terjadi di negeri kami?

Lalu kulihat di televisi
ada anak-anak kecil
memilih bunuh diri
hanya karena tak bisa bayar uang sekolah
karena tak mampu membeli mie instan
juga tak ada biaya rekreasi

Beliung pun menyerbu
dari berbagai penjuru
menancapi hati
mengiris sendi-sendi diri
sampai aku hampir tak sanggup berdiri

: sekali lagi aku bertanya pada diri sendiri
benarkah ini terjadi di negeri kami?

Lalu kudengar episodemu adik kecil
Pada suatu hari yang terik
nadimu semakin lemah
tapi tak ada uang untuk ke dokter
atau membeli obat
sebab ayahmu hanya pemulung
kaupun tak tertolong

Ayah dan abangmu berjalan berkilo-kilo
tak makan, tak minum
sebab uang tinggal enam ribu saja
mereka tuju stasiun
sambil mendorong gerobak kumuh
kau tergolek di dalamnya
berselimut sarung rombengan
pias terpejam kaku

Airmata bercucuran
peluh terus bersimbahan
Ayah dan abangmu
akan mencari kuburan
tapi tak akan ada kafan untukmu
tak akan ada kendaraan pengangkut jenazah
hanya matahari mengikuti
memanggang luka yang semakin perih
tanpa seorang pun peduli

: aku pun bertanya sambil berteriak pada diri
benarkah ini terjadi di negeri kami?

Tolong bangunkan aku, adinda
biar kulihat senyummu
katakan ini hanya mimpi buruk
ini tak pernah terjadi di sini
sebab ini negeri kaya, negeri karya.
Ini negeri melimpah, gemerlap.
Ini negeri cinta

Ah, tapi seperti duka
aku pun sedang terjaga
sambil menyesali
mengapa kita tak berjumpa, Adinda
dan kau taruh sakit dan dukamu
pada pundak ini

Di angkasa layang-layang hitam
semakin membayangi
kulihat para koruptor
menarik ulur benangnya
sambil bercerita
tentang rencana naik haji mereka
untuk ketujuh kalinya

Aku putuskan untuk tak lagi bertanya
pada diri, pada ayah bunda, atau siapa pun
sementara airmata menggenangi hati dan mimpi.

: aku memang sedang berada di negeriku
yang semakin pucat dan menggigil

(Abdurahman Faiz, 7 Juni 2005)


GADIS KECIL DALAM GEROBAK KUMUH
dari Ikranegara
berkabung untuk: nur khoirun nisa & bangsaku

Gerobak kumuh gerobak pemulung di bawah sorot
Terik matahari globalisasi
Jakarta kota metropolitan
Perkasa dan angkuh
Bergemuruh geram suara mesin-mesinnya

Gadis kecil di dalam gerobak kumuh gerobak pemulung
Tak lagi bisa tertawa ceria seperti dahulu ketika gerobak berlari
Terbuncang-buncang didorong ayah dan abang tersayang
Dengan canda ria
Sekembalinya mereka bertiga dari nyetor kardus bekas
Kaleng bekas kertas bekas botol bekas
Plastik bekas telah dibayar juragan pemulung berkumis lebat
Pipinya cekung menyedot rokok kretek

Gadis kecil di dalam gerobak kumuh gerobak pemulung
Tak lagi bisa berpegang keras-keras pada tepi gerobak kumuh
Dengan tangannya yang mungil agar tak terjatuh ke lantai gerobak
Seperti dahulu ketika menuju ke Puskesmas untuk berobat
Karena ia terserang penyakit muntah-berak

Gadis kecil di dalam gerobak kumuh gerobak pemulung
Untuk penyakitnya itu hanya sekali pernah diperiksakan
Ke dokter di Puskesmas milik pemerintah
Kali lainnya tak mampu diulang kembali karena orang tuanya
Tak sanggup membayar biaya kesehatan
Untuk gadis kecilnya
Di dalam gerobak kumuh gerobak pemulung

Duit penghasilan ayah papa ayah pemulung
Cumalah secuil saja daya beli rupiahnya
Bahkan tak berdaya untuk membeli makan
Dari hari ke hari esoknya

Oi? gerobak kumuh gerobak pemulung di bawah sorot
Terik matahari globalisasi
Jakarta kota metropolitan
Perkasa dan angkuh
Bergemuruh geram suara mesin-mesinnya

Oi? di lantaimu gadis kecil terbujur kaku
Wajahnya basah oleh tetesan air menetes-netes
Tapi kedua bola matanya tak lagi bercahaya

Oi? Dadanya tak lagi berdegup jantung
Dan tetes air yang menetes-netes itu
Bukanlah gerimis
Tetes itu airmata duka
Bukan hanya dari mata orang tuanya saja
Tetes itu air mata kita semua

(Ikranagara : Bethesda, MD, 8 Juni 2005)
.

Jumat, Juni 03, 2005

Mengasihi Hingga Sakit, Memberi Hingga Tak Tersisa" - 5 (habis)
Oleh Lesminingtyas*

Walaupun semua anak kandung Uwa dan keempat kakak saya yang pernah diasuh Uwa, lepas tangan atas biaya pengobatan Uwa yang mencapai 8 digit, saya masih tetap merelakan puluhan ribu pulsa saya untuk mengabari mereka satu persatu. Kala itu saya tidak lagi mengabarkan kesusahan dan mengemis belas kasihan mereka. Saya hanya ingin menyampaikan kabar suka cita bahwa Uwa sudah sehat dan saya pun telah keluar dari masalah keuangan.

Kakak kedua yang sejak kecil paling dimanja oleh Uwa, waktu itu justru menawarkan rencana yang tidak berpihak pada Uwa. Kakak yang tahu bahwa gaji Uwa masih saya simpan di rekening khusus, menyarankan saya untuk mengambilnya sebagian sebagai penggantian biaya RS. Kalau menilik hubungan saya dengan Uwa sebagai pembantu dan majikan, saran kakak memang masuk akal. Hanya saja saya tidak mau menodai kerelaan saya yang telah saya lakukan untuk Tuhan. Saya tidak mau memotong sesenpun gaji Uwa karena itu murni hak Uwa. Soal tanggung jawab pengobatan Uwa, itu murni urusan saya dengan Tuhan yang mengijinkan hal tersebut terjadi dalam kehidupan saya.

Ujian untuk "memurnikan kerelaan" juga saya lalui ketika para tetangga menjenguk Uwa baik di RS maupun di rumah. Walaupun perhatian, kunjungan dan bantuan finansial dari tetangga merupakan salah satu "tuaian" dari apa yang saya tabur selama ini, tetapi saya tidak mau mengurangi kebahagiaan Uwa. Sebenarnya Uwa juga ingin memberikan semua amplop berisi uang dari para tetangga. Namun dari lubuk hati yang paling dalam, sedikit pun tidak ada keinginan saya untuk mengambil sumbangan yang diberikan kepada Uwa.

Kakak yang sehari-harinya melihat polah tingkah Uwa yang begitu menyesakkan hati, menyarankan saya untuk segera mengirim Uwa pulang dengan mobil travel. Usul kakak memang sangat realistis karena ia tahu persis ketidak siapanmental dan keuangan saya bila Uwa tiba-tiba sakit hingga meninggal nanti.

Walaupun sejujurnya Uwa sama sekali sudah tidak memberi manfaat untuk saya dan anak-anak, tetapi saya ingin tetap memperlakukannya sebagai manusia. Sangatlah tidak manusiawi jika saya membiarkan Uwa yang masih dalam masa pemulihan untuk menempuh perjalanan ke Jawa. Selain itu saya pun tidak yakin ada salah satu anak kandung Uwa atau kakak saya yang bersedia memberi tumpangan kepada Uwa.

Bapak yang selalu mengikuti "perjalanan iman" saya, tahu persis pergumulan saya. Beberapa kali bapak mengajak saya untuk "rapat rahasia" di belakang Uwa dan anak-anak saya. Kami berdua mencari cara terbaik untuk memberi tumpangan kepada Uwa hingga akhir hayatnya, tanpa harus menimbulkan gejolak pada kehidupan orang lain.

Saya dan bapak cukup lama untuk memikirkan nasib Uwa selanjutnya. Bapak tahu persis, sebenarnya hanya saya dan bapak yang masih memberi tempat untuk Uwa. Saya memang satu-satunya anak yang super cuek dan sangat memaklumi kekacauan perilaku dan arogansi Uwa. Namun karena beban hidup yang harus saya tanggung sendirian sudah cukup berat, bapak tidak tega menambah beban saya lagi. Rumah bapak sebenarnya paling cocok sebagai tempat Uwa menjalani sisa hidupnya. Hanya saja, ibu yang cenderung reaktif dan emosional, sangat tidak menyukai sikap dan perilaku Uwa yang tidak bisa menempatkan diri. Kalau kami memaksakan Uwa tinggal di rumah orang tua saya, kami justru kuatir kesehatan dan emosi ibu terganggu.

Atas permintaan bapak, saya mencoba menghubungi kembali keempat kakak saya untuk meminta sedikit saja hati mereka supaya mau memberikan tumpangan untuk Uwa. Walaupun bapak sudah siap dengan jawaban mereka, tapi saya tahu di mata bapak tersirat kekecewaan yang mendalam atas sikap kakak-kakak saya. "Bapak tahu, diantara kelima saudaramu, cuma kamu yang mengerti kasih Kristus. Walaupun hidup kamu secara materi jauh di bawah kakak-kakakmu, tapi cuma kamu yang merasa berkelimpahan dan bisa menolong orang lain" kata bapak dengan mata yang berkaca-kaca.

Setelah berdoa dan bergumul cukup lama, bapak pun menawarkan jalan keluar yang kami rasa paling baik. Bagaimanapun keadaannya, saya harus tetap merawat Uwa hingga pulih dan benar-benar siap untuk menempuh perjalanan ke Jawa. Otomatis saya harus menambah tenaga pembantu untuk merawat Uwa selama masih di rumah saya. Bapak telah memutuskan setelah pulih dan kembali ke Jawa, Uwa akan tinggal bersama para pekerja di rumah kakak pertama yang berjarak kurang lebih 5 km dari rumah orang tua saya. Untuk kebutuhan makan sehari-hari ibu berjanji akan memberikan bahan-bahan mentah yang bisa Uwa olah sendiri. Bapak pun mengingatkan saya untuk memberikan uang "pensiun" setiap bulan untuk Uwa. Walaupun saya tidak boleh besar kepala, tetapi saya tetap bangga karena saya adalah satu-satunya anak yang diminta oleh bapak untuk memberikan uang bulanan buat Uwa.

Setelah 3 minggu Uwa kami rawat di rumah fisiknya pun membaik kembali. Menurut dokter, Uwa cukup kuat untuk menempuh perajalan ke kampung. Uwa pun secara mental sudah siap. Uwa sendiri memang tahu bahwa saya selalu siap membantu siapapun tetapi belum punya kesiapan mental untuk mengurus hari-hari tua Uwa. Dengan berlinang air mata, Uwa memohon "Walaupun aku sudah menghabiskan uang banyak, dan tidak berguna untuk keluarga di sini, mama Dika masih mau kan memberi santunan sampai nanti aku mati? Aku cuma mengandalkan uang kiriman dari Bogor untuk hidup" pintanya memelas.

"Uwa, nggak usah mikir. Nanti semua gaji Uwa saya kasih utuh dan saya tambahi supaya bisa untuk biaya hidup Uwa sampai akhir tahun ini. Nanti libur Natal saya tengok Uwa" kata saya sambil menyodorkan uang gaji dan tambahan lainnya. "Jadi semua biaya pengobatan saya ditanggung seluruhnya sama mama Dika?" tanya Uwa berkaca-kaca. Saya pun hanya mengangguk. "Semua kerelaan mama Dika pasti Tuhan perhitungkan. Tidak ada pengorbanan mama Dika yang Tuhan lupakan. Saya berdoa semoga apa yang mama Dika korbankan untuk saya, Tuhan kembalikan berlipat-lipat" sambung Uwa. "Amen!" jawab saya santai tapi mantap.

Walaupun biaya hidup saya untuk sebulan sudah Tuhan sediakan, tetapi saya masih memutar otak bagaimana mencari uang untuk persiapan Dika masuk SMP. Ketika saya cengar-cengir melihat semua kartu ATM yang tak lagi mengeluarkan uang jika digesek, "manajemen kecil" yang menangani pemasaran buku saya memberikan laporan yang sangat menggembirakan. Buku "TANGAN YANG MENENUN" cetakan 1-2 yang belum sempat dilaunching secara resmi, ternyata laris manis bak kacang goreng. Hasil royalty yang saya dapat rasanya sudah lebih dari cukup untuk membiayai sekolah Dika di SMP.

Tidak berhenti di situ, Tuhan masih memberikan berkat dari royalty untuk cetakan 3-4 yang sama besarnya. Ternyata benar sekali, ketika saya memberikan seluruh apa yang saya miliki dengan penuh kerelaan, Tuhan menggantikannya dengan jumlah yang tak terkira. Namun demikian saya tetap berdoa supaya Tuhan menjaga hati saya sehingga tidak "maruk" dan tetap menjadi seperti yang Tuhan kehendaki. Saya tetap yakin bahwa apa yang Tuhan berikan, bukan untuk saya pribadi. Tuhan mempercayakan berkat itu kepada saya, supaya orang-orang di sekitar saya bisa merasakan kasih Tuhan. Dan akhirnya merekapun memuliakan nama Bapa di Surga.

Ketika saya telah mencapai tingkat "lilo legowo" (rela dengan sepenuh hati) memberikan semua yang saya miliki untuk orang lain, dan tidak mengukuhi berkat yang saya tuai untuk kepentingan diri sendiri, Tuhan pun mengirimkan anak-anakNya untuk menambal lubang-lubang kekurangan saya. Salah satu hamba Tuhan mengirim SMS yang sungguh menguatkan saya "Baca Kel 35 : 20-29 !Memberi bukan karena kelebihan, bukan pula supaya Tuhan berbuat baik kepadakita. Berilah karean keinginan hati yang rela untuk berbagi"

Tuhan juga memberikan saya seorang teman sekaligus bapak rohani yang semula hanya saya kenal lewat dunia maya, untuk semakin menguatkan keyakinan saya tentang berkat Tuhan. Tidak hanya memberikan dukungan moral, bapak rohani yang bermukim di Holland selalu menawarkan bantuan materi untuk saya. Bahkan bapak rohani saya meyakinkan akan adanya jalan yang sedang dirintisnya supaya suatu saat Dika bisa melanjutkan sekolah di Eropa.

Tuhan memang sungguh luar biasa dan begitu kreatif untuk memelihara saya dan anak-anak. Dari perkiraan dan hitungan matematis manusia, Dika hampir kehilangan kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya ke SMP. Namun ketika kepasrahan saya kepada Tuhan benar-benar total, Tuhan justru memberikan jaminan yang lebih. Tidak hanya jaminan untuk biaya pendidikan di SMP, kemungkinan Dika untuk mendapatkan pendidikan di Eropa pun sudah Tuhan buka.

Ketika "mimpi-mimpi" anak-anak saya harus tertunda karena semua yang ada saya relakan untuk diberikan kepada orang lain, Tuhanpun mengirimkan anak-anakNya untuk menggantikan apa yang tidak bisa saya berikan untuk anak-anak. Ketika mimpi Dika untuk memiliki jam tangan harus saya kalahkan, sebagai anak Dika memang sangat kecewa. Namun sebelum kekecewaan itu mematikan semangat Dika, seorang pendeta senior membawakan oleh-oleh jam tangan dari Singapura untuknya.

Dika sangat girang dengan apa yang ia dapatkan. Perasaan saya pun bercampur aduk antara mensyukuri berkat Tuhan dan terharu melihat ungkapan hati Dika yang disampaikan dalam emailnya kepada pendeta senior itu, sebagai berikut : "Pak terima kasih jamnya. Jamnya bagus sesuai keinginan Dika. Jamnya sudah Dika pakai ke sekolah. Teman-teman ikut kagum. Dika bangga punya jam yang bagus seperti teman-teman lain yang masih punya ayah. Dika mau pakai jam itu sampai selama-lamanya" Ternyata apa yang Dika dapat tidak sekedar jam, seperti yang dimintanya dari saya. Ada kebanggaan tersendiri dalam diri Dika karena jam itu didapatnya dari seorang "bapa".

-- selesai --

Kamis, Juni 02, 2005

"Mengasihi Hingga Sakit,Memberi Hingga Tak Tersisa" - 4
Oleh : Lesminingtyas*

Hari-hari berikutnya, saya hampir seperti robot yang harus bangun jam 03.30 untuk menyiapkan sarapan anak-anak dan air panas untuk mandi. Sebelum berangkat ke kantor, saya harus ke RS untuk melayani Uwa buang air kecildengan pispot, memandikan dengan waslap dan mengganti pakaiannya. Walaupun saya sudah berusaha melakukan melebihi dari yang seharusnya, tetapi Uwa selalu membalasnya dengan kemarahan dan ketidak puasannya. Belasan pasang mata juga ikut mengadili saya sebagai anak yang tidak tahu diri. Cemoohan dan sindiran dari orang-orang yang sok tahu, rasanya sudah terlalu biasa ditelinga saya.

Begitu juga sore harinya sekembalinya dari kantor, saya langsung ke RS, sementara bapak yang berumur 70 tahun lebih, yang seharusnya saya urus justru sibuk mengurus anak-anak saya. Hati saya sebenarnya berontak. Ya, saya berontak untuk banyak hal. Paling tidak saya berontak karena tidak bisa memperlakukan bapak dengan selayaknya. Saya juga berontak karena semua pengorbanan saya hanya dibalas dengan kekecewaan dan kemarahan Uwa di depan umum.

Rasanya, saya tidak kuat lagi menghadapi sikap Uwa yang arogan itu. Sekali pernah terlintas dalam pikiran saya untuk membiarkan Uwa terlantar di RS, toh dia bukan "siapa-siapa" saya. Namun, setiap benih kebencian itu muncul di hati saya, bayang-bayang wajah Tuhan Yesus selalu muncul di wajah Uwa. Akhirnya, apapun yang terjadi, bagaimanapun perlakukan Uwa dan sikap orang-orang di bangsal itu, saya coba abaikan. Saya selalu men-setting otaksaya dengan berikir "Sebodo teuing orang mau bikin apa, yang penting gua melakukan yang Tuhan kehendaki. Biar saja orang jungkir balik, tapi saya mau tetap setia pada Matius 25 : 40"

Memang perlu persiapan khusus setiap pagi dan sore saat hendak menjenguk Uwadi RS. Paling tidak saya harus menyiapkan hati, "menelan pil budek" dan menyiapkan muka hingga setebal tembok. Kadang-kadang saya melucu dalam hati untuk menghibur diri sendiri. Ketika seorang penunggu pasien di sebelah Uwa melepas kepergian saya dengan sindiran sinis "Uh, cantik-cantik kok nggak punya perasaan! Kok tega-teganya menelantarkan orang tuanya sendirian" Saya pun berkelakar dalam hati "Masih mending saya cantik biarpun nggak punya perasaan. Dari pada kamu, udah nggak cantik, nggak punya perasaan pula! Karena saya nggak tega menelantarkan orang tua saya sendiri, makanya saya nggak mungkin menunggui emaknya orang lain di rumah sakit"

Ketika ketiga kakak yang cukup berlebih dalam hal ekonomi tidak membalas SMS, saya pun mencoba cara yang lebih sopan dengan menelponnya. Sayang sekali, puluhan ribu pulsa terbuang percuma karena kakak pertama merasa uangnya belum cukup untuk menambah satu mobil lagi untuk memenuhi garasinya. Saya dan bapak hanya geleng-geleng kepala melihat kakak pertama yang masih saja membeli mobil baru, padahal mobil yang telah ada melebihi jumlah anggota keluarganya.

Saya mencoba meminta belas kasihan kakak kedua yang sejak kecil selalu dimanja dan dinomor satukan oleh Uwa. Kakak kedua yang baru mendapat fee puluhan juta dari kliennya ternyata juga masih merasa kekurangan uang karena harus membayar sejumlah kapling untuk melengkapi 3 rumah yang telah dikoleksinya.

Dengan menangis saya mencoba mengemis belas kasihan kakak ketiga yang suaminya punya jabatan di polantas yang hampir bisa dikatakan tinggal membalikkan tangan untuk mendapat uang dalam jumlah yang cukup. Kakak ketiga yang punya hobby mengkoleksi perhiasan itupun tidak peduli dengan Uwa. Dengan gaya pengemis yang memelas saya mencoba meyakinkan kakak bahwa bantuannya sangat berarti untuk saya dan anak-anak, bukan untuk Uwa. Walaupun urat malu saya telah putus, demi mendapatkan bantuan kakak ketiga, namun kakak hanya menawarkan pinjaman dalam bentuk emas. Saya yang tidak tahu fluktuasi harga emas, tentunya sangat takut kalau-kalau nanti saat saya harus mengembalikan pinjaman, harga emas tiba-tiba melonjak naik.

Tak kurang akal, saya mencoba menelpon kembali kakak kedua yang sedang sibuk mencari kapling. Paling tidak saya ingin meminjam uangnya sebelum kakak menemukan kapling yang cocok. Sayang sekali malam itu kakak mengaku tidak punya otioritas sama sekali atas uang miliknya. Kakak menawarkan saya menempuh prosedur yang panjang dan berbelit-belit untuk meminjam uang lewat istrinya yang tak segan-segan berbicara pedas kepada iparnya.

Kakak kedua yang sering tinggal di rumah saya itupun memberi alternatif kepada saya untuk mengambil semua tabungan pendidikan Dika. Dengan perasaan yang sudah tak karu-karuan, saya hanya menjawab lirih. "Kalau semua tabungan Dika diambil, dengan uang apa lagi Dika masuk SMP? Ironis sekali kalau Dika sampai tidak bisa melanjutkan ke SMP hanyagara-gara saya menolong orang yang seharusnya kita tanggung bersama" Tanpa memperhitungkan perasaan saya sebagai ibu, kakak saya pun menawarkan jalan keluar yang membuat hati saya tercabik-cabik "Kalau tidak bisa membayar uang pangkal ke SMP, Dika bisa dititipkan di rumah bapak, biar disekolahkan di kampung" Mendengar saran kakak, tangis saya kontan meledak. "Masa sih, gara-gara menolong orang, anak-anak saya harus berpencar-pencar?!" tangis saya setengah memprotes.

Dika yang tidak tahu menahu pembicaraan saya dengan kakak, tiba-tiba mendatangi saya sambil bertanya "Bu, kenapa Dika dan adik-adik harus berpencar? Memangnya kalau ibu meminjam uang ke saudara, Dika dan adik-adik harus ditahan untuk jaminan?" Mendengar kata-kata Dika hati saya semakin teriris. "Tuhan, ujian apa lagi yang akan Engkau berikan? Apakah saya belum cukup merelakan apa yang saya miliki untuk menolong orang lain? Apakah kerelaan saya ini akan berbuah penderitaan untuk anak-anak saya? Apakah saya harus merelakan seluruh tabungan Dika, sementara saya tidak punya kepastian dari mana biaya masuk SMP untuk Dika? Tuhan, selama ini saya sudah mengekang nafsu saya hanya supaya bisa menabung untuk anak-anak. Haruskah kedisplinan saya untuk menabung justru hanya membuahkan hasil yang berantakan yang serba tidak teratur ini?"

Bapak yang tahu apa yang sedang saya tangisi, berusaha menguatkan hati saya "Ini adalah pelajaran dari Tuhan untuk menguji seberapa besar kerelaan kamu untuk berkorban" "Ini nggak adil, dari dulu saya selalu berkorban menolong orang lain. Apakahpengorbanan saya belum cukup? Apakah saya harus mengorbankan masa depan Dikahanya untuk menolong seorang pembantu?" saya memprotes sambil terisak. "Ini memang ujian yang berat. Tapi kalau kamu berhasil melewatinya, Tuhan sendiri yang akan menyiapkan masa depan kamu dan anak-anakmu" dengan gaya seorang majelis, bapak menasehati.

Walaupun otak saya blank malam itu, saya bertekad untuk menanggung semua biaya Uwa, tanpa harus mengemis belas kasihan kepada orang lain. Untuk biaya pendidikan Dika, saya pun bertekad untuk tidak meminta belas kasihan atau meminjam kepada sanak saudara. "Saya harus bisa sendiri dan hanya boleh mengandalkan Tuhan" begitu janji saya dalam hati.

Saya mencoba bersikap "legowo" menerima segala sesuatunya dengan suka cita dan rasa syukur supaya beban terasa lebih ringan. Namun tidak semudah membalikkan tangan. Ujian yang lebih berat masih Tuhan berikan kepada saya. Ketika Uwa sudah diperbolehkan pulang, saya hampir pingsan melihat tagihanyang jumlahnya mencapai 8 digit. Malam itu, saya tidak hanya menguras habis tabungan pendidikan Dika di Lippo, tetapi juga harus menguras uang gaji di BNI. Bukan hanya fisik saya yang harus mondar-mandir ke dua lokasi ATM, hati saya pun kacau balau tak menentu. Selain memikirkan biaya masuk SMP yang tinggal satu-dua bulan lagi, saya juga pusing memikirkan bagimana saya akan menyambung hidup sampai gajian bulan berikutnya tiba.

Namun entah mengapa, walaupun sisa uang di dompet kurang dari seratus ribu, saya bangga sekali bisa membayar lunas tagihan RS tanpa bantuan dari anak-anak kandung Uwa maupun keempat kakak kandung saya.

Dengan perasaan gagah bak pahlawan menang perang, saya menghampiri Uwa yang sudah bersiap-siap pulang. Semula saya pikir Uwa akan bangga dengan pengorbanan saya. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Uwa kecewa karena kakak saya tidak bisa menjemput dengan mobilnya sehingga Uwa terpaksa saya ajak pulang dengan naik angkot. Sebelum meninggalkan bangsal, Uwa sempat marah-marah karena saya tidak membelikannya sandal. Saya sendiri tidak tahu kemana raibnya sandal yang dipakai Uwa dari rumah. Hilangnya sandal dibangsal itupun Uwa timpakan sebagai kesalahan saya.

Untuk menghindari tatapan mata para penunggu pasien yang tidak ramah, sayapun merelakan sandal saya untuk Uwa. Mau tidak mau, malam itu saya harus menahan jijik menapaki lorong RS yang tidak begitu bersih itu. Tidak tanggung-tanggung, ternyata halaman RS yang harus kami lalui sangat becek sehingga kaki saya mirip kaki petani dari sawah. Orang Sunda yang melihat saya pasti sependapat bahwa keadaan itu benar-benar bikin "geuleuh".

Karena di sekitar RS saya tidak menemukan penjual sandal, saya pun tetap "nyeker" menyeberang jalan untuk mencari angkot yang bisa kami carter sampai di rumah. Tak pelak lagi, setiap sopir angkot selalu memandangi kaki sayayang "udik"; tak beralas sedikitpun lengkap dengan celana panjang yang saya lipat mirip orang kebanjiran.

Sesampainya di rumah, saya tidak bisa langsung istirahat. Saya harus memanaskan air untuk merendam kaki yang mulai gatal-gatal. Perut saya pun kembung karena cukup lama telanjang kaki. Karena banyak tuntutan yang mengharuskan saya bergerak cepat bekas jahitan di lutut saya pun terasa nyeri kembali. Selama ini rasa nyeri tersebut saya hiraukan karena tak sebanding dengan beban yang harus saya selesaikan. Badan saya meriang dan perut saya pun mual. Rasanya kekuatan saya hanya tinggal beberapa persen saja dan mungkin tinggal sejengkal lagi jarak saya dengan sakit.

Ketika bapak menanyakan berapa total uang yang saya keluarkan untuk Uwa, saya hanya menjawab sambil berlinang air mata "Semua gaji, tabungan kesehatan anak-anak dan tabungan pendidikan Dika ludes. Mungkin malam ini, saya adalah orang yang paling miskin di dunia. Cuma ini yang saya punya" kata saya sambil menunjukkan 3 lembar uang dua puluh ribuan "Saya nggak tahu bagaimana saya harus menghidupi anak-anak selama 25 hari lagi, sampai gajian tiba" sambung saya masih dengan berlinang air mata.

Bapak pun menjawab santai "Anak-anakmu itu milik Tuhan, percayalah Tuhan sendiri yang akan memeliharanya. Tuhan itu tidak tidur, tidak kurang bijaksananya dan tidak akan membiarkan anak-anakNya kelaparan" Saya pun merasa tenang karena saya yakin bapak tidak NATO (no action, talk only). Bapak tidak hanya pintar menasehati tetapi juga aktif bertindak. Saya tahu persis, bapak tidak hanya siap dengan nasehat dan doa-doanya, tetapi juga dengan pengorbanan tenaga dan materi yang dimilikinya. "Kira-kira berapa yang kamu butuhkan untuk menyambung hidup sampai kamu gajian? Segini cukup?" tanya bapak sambil menyodorkan segepok uang sisa pensiunnya. "Untuk makan saja sih cukup. Hanya saja, semua uang gaji sudah terpakai untuk membayar rumah sakit, padahal tagihan rumah, telepon, listrik dan SPP Dika belum terbayar" jawab saya ringan, tanpa beban sedikitpun. "Kalau begitu, besok bapak cepat-cepat pulang kampung supaya bisa menjual kopi dan cengkeh yang ada di gudang untuk kamu" bapak menjamin "Nanti untuk biaya masuk SMP Dika, bapak bisa gadaikan SK pensiun ke bank" lanjut bapak. Mendengar kesanggupan bapak, saya kembali menangis. Saya benar-benar tidak tega merampas hak bapak untuk menikmati uang pensiunnya.

Menjelang tidur, saya mencoba-coba membuka email. Sungguh tak terduga, ada beberapa tawaran side job yang saya cukup besar honornya. Saya yang beberapa hari hampir tidak pernah tertawa, malam itu benar-benar girang. "Pak, ternyata berkat Tuhan mengalir pada waktunya. Bapak nggak usah buru-buru pulang kampung, karena saya dapat kerjaan tambahan di beberapa tempat sampai malam hari. Bapak nggak perlu repot-repot membantu keuangan saya. Yang saya perlukan saat ini cuma bantuan tenaga dan perhatian bapak menemani Dika belajar dan menjaga adik-adiknya selama saya tidak ada dirumah" jawab saya kegirangan.

-bersambung-

Rabu, Juni 01, 2005

"Mengasihi Hingga Sakit, Memberi Hingga Tak Tersisa" - 3
Oleh : Lesminingtyas

Kurang lebih jam 03.30 anak-anak saya bangunkan. Setelah mandi dengan air panas yang saya siapkan, Dika menyiapkan sendiri sarapan pagi dan bekal makanan yang akan di bawa ke sekolah. Saya sendiri menyiapkan saparan untuk Mika dan bekal makan siang saya untuk di kantor nanti. Setelah selesai memandikan Mika saya segera bergegas pergi ke rumah sakit untuk melihat keadaan Uwa, sembari pergi ke kantor. Sebelum melangkah ke luar rumah, saya menelpon seorang tetangga yang akan menolong saya untuk menjaga Mika selama saya tinggal bekerja.

Pagi itu saya harus meninggalkan Mika dengan sarapannya. Walaupun saya tahu kalau Mika makan tanpa pengawasan selalu menggunakan tangan kirinya hingga makanan tumpah ke mana-mana mirip makanan ayam, tetapi tidak ada pilihan lain, karena saya tidak mungkin mengambil cuti dadakan. Hanya Dika yang masih bisa menemani Mika sambil menunggu mobil jemputan sekolahnya datang pada pukul 06.00 nanti. Sebenarnya saya dan para tetangga sudah berusaha merayu Mika untuk tinggal di rumah tetangga selama Dika sekolah, tetapi Mika selalu menjawab "Mika nggak mau..Mika sudah punya rumah sendiri". Itulah sebabnya beberapa tetangga bersepakat untuk menemani Mika di rumah secara bergiliran.

Jam 04.30 saya cepat-cepat pergi ke rumah sakit, supaya jam 05.30 saya bisa sampai di tempat pemberhentian bis jemputan langganan saya. Sayang sekali begitu sampai di rumah sakit banyak sekali tugas kemanusiaan yang harus saya lakukan. Selain mengganti baju Uwa yang kotor penuh darah yang sudah mengering, saya juga harus mengelap badan Uwa dengan air hangat yang disediakan oleh RS. Jijik sekali rasanya. Selain saya tak pernah membayangkan akan memandikan seorang pembantu, saya juga tidak siap menggunakan peralatan rumah sakit yang biasa dipakai beramai-ramai itu.

Hati saya sungguh tidak siap melihat sikap Uwa yang semakin sulit dimengerti. Rasanya sudah sewajarnya kalau Uwa berterima kasih setelah saya menelantarkan anak-anak demi mengurus Uwa. Saya sungguh tidak menyangka ketika Uwa marah-marah di depan belasan pasien yang lain ketika saya kurang tepat meletakkan pispot sehingga kencing Uwa sedikit tercecer. Walaupun perut saya sangat mual saat membuang kencing Uwa ke kamar mandi, namun Uwa masih saja menuntut lebih.

Karena Uwa sudah bisa saya dudukkan, saya mencoba melepas stagen dan kainpanjang yang dikenakannya. Ketika saya salah melilitkan kain panjang ketubuh Uwa, dengan arah terbaik dari yang seharusnya, Uwa kembali memarahisaya. Bahkan ketika saya jongkok membetulkan kain di bagian kaki Uwa, Uwamenggerakkan kakinya dengan kasar hampir mengenai muka saya. Hampir sajakesabaran saya habis. Ujung bibir saya hampir tak mampu menahan kalimat yangrasanya pantas untuk saya lontarkan "Emang lu siapa?"

Ingin rasanya saya mengembalikan Uwa pada posisi yang seharusnya, yaitusebagai pembantu. Namun, lagi-lagi saya teringat bahwa ini adalah ujian dariTuhan. Segala sesuatu Tuhan ijinkan terjadi pada diri saya, demi kebaikansaya sendiri. Hampir saja mengingatkan bahwa Uwa adalah pembantu dan sayaadalah majikan yang harus dihormatinya sehingga tidak ada kewajiban bagisaya untuk mengabdi kepadanya. Namun ketika kesombongan itu muncul,tiba-tiba saya merinding membayangkan jika saya tidak sepenuh hati melayaniUwa, jangan-jangan wajah Uwa tiba-tiba berubah menjadi wajah Tuhan Yesus.

Karena terlalu banyak permintaan Uwa, pagi itu saya tidak bisa cepat-cepat meninggalkan RS. Saya pun harus pergi ke kantor dengan kendaraan umum karena sudah ketinggalan bis jemputan. Sudah bisa diduga, kartu absent saya hari itu merah. Tidak main-main, karena 1 menit keterlambatan berarti bonus akhir tahun dipotong sepersekian persennya.

Selama di kantor, saya tidak tahu lagi apakah saya ini tidur sambil duduk atau duduk sambil tidur. Terpaksa saya harus doping dengan multi vitamin dan kopi susu supaya mata bisa diajak melek. Saya sengaja menyelesaikan bahan presentasi yang akan dibawa boss ke luar negeri, supaya waktu selebihnya bisa saya gunakan untuk mengerjakan tugas-tugas kesekretarisan yang agak ringan.

Rasanya makan siang hari itu tidak lagi bisa saya nikmati. Targetnya hanya memasukkan makanan ke dalam perut. Saking ngantuknya, waktu istirahat makan siang yang hanya 30 menit itu saya gunakan 10 menit untuk makan siang dan selebihnya saya pakai untuk tidur di sofa.

Sepulang kerja, sebenarnya saya ingin mampir ke RS seperti yang Uwa minta. Tapi perasaan saya tidak enak karena ingin segera melihat keadaan anak-anak di rumah. Begitu sampai di rumah, saya baru sadar bahwa paginya saya terlalu buru-buru pergi hingga lupa menyiapkan makanan siang untuk anak-anak. Untung saja tetangga yang menemani Mika berinisiatif memasakkan nasi dan menggoreng telor untuk anak-anak.

Malam itu saya tidak punya energi lagi untuk menyiapkan makan malam. Seperti biasanya kalau lagi malas masak, saya meminta Dika membeli japcay di depot mie bangka. Ketika saya menunggui anak-anak makan, saya tertidur di meja makan saking lelahnya. Rencana menjenguk Uwa ke RS malam itu pun batal. Resikonya, saat saya menjenguk ke RS nanti Uwa pasti tak henti-hentikan "menyanyikan" lagu wajib yang semuanya berisi kekecewaan dan kemarahan. Tapi apa hendak dikata, untuk mengontrol anak-anak cuci kaki dan gosok gigi saja, malam itu saya sudah tak sanggup.

Esok paginya, seperti biasa saya membuatkan sarapan untuk anak-anak. Untuk makan siang, saya hanya menyiapkan nasi putih karena saya yakin bapak datang dari kampung membawakan lauk buatan ibu seperti biasanya. Namun karena bapak pergi terburu-buru, dugaan saya kali itu meleset. Bapak yang tidak pernah menuntut dilayani itupun mengajak Dika memasak dari bahan-bahan mentah yang ada di kulkas.

Sore itu saya berencana pergi ke RS setelah mengurus anak-anak dan menyambut kedatangan bapak. Begitu selesai memandikan Mika, saya dan anak-anak menemani bapak minum teh di ruang tamu. Anak-anak saya biarkan "gelendotan" di badan mbah kakungnya, sementara saya merebahkan badan di sofa sambil mendengar kabar keluarga dan suasana di kampung dari bapak. Entah sampai mana saya mendengar cerita bapak, tapi tertidur pulas saat mendengar kisah seru yang bapak ceritakan, memang sudah biasa terjadi sejak saya kecil dulu. Bapak yang tahu kebiasaan buruk saya, memang sudah maklum. Terlebih lagi sore itu saya benar-benar lelah.

Kira-kira jam 20.30 saya dibangunkan Dika karena ada telepon dari RS. Masih setengah tertidur saya menggapai gagang telepon. Saya benar-benar kaget ketika perawat yang menelpon itu meminta saya untuk datang ke RS malam itu juga.
"Ada apa suster? Memangnya pasien dalam keadaan gawat?" tanya saya panik.
"Bukan Bu! Malam ini pasien memerlukan obat suntik yang harus ibu beli sendiri di apotik" jawab si penelpon. "Apakah tidak bisa dibelikan dulu oleh rumah sakit, terus nanti dimasukkan ke dalam tagihan" saya menawar. "Maaf Bu, untuk pasien kelas 3 tidak ada pelayanan semacam itu. Kalau keluarga Ibu dirawat di VVIP, kami bisa membantu. Untuk pasien kelas 3, keluarga pasien harus membeli obat sendiri" jawab si penelpon kurang bersahabat. "Bagaimana kalau misalnya saya datang besok pagi?" saya masih menawar.
"Maaf Bu, ini emergency. Dokter minta obat tersebut harus segera disuntikkan karena kondisi pasien sangat lemah dan HBnya tinggal 6 saja" kata sipenelpon dengan nada memerintah.
"Kalau begitu, bisa nggak obat tersebut cepat dibelikan dulu dan malam inijuga saya akan datang membayar semua harga obat" saya memohon kebijaksanaan.
"Maaf Bu, obatnya sangat mahal dan ibu harus membeli sendiri di apotik. Kami tidak bisa membantu" jawabnya singkat.

Begitu menutup telepon, badan saya rasanya makin loyo saja. Walaupun perjalanan ke RS cuma kira-kira 30 menit, rasanya saya menghadapi perjalanan yang panjang dan melelahkan. Sambil terdiam menahan segala rasa yang berkecamuk, saya mengambil jaket water proof di lemari gantung. Saya memang biasa mengenakan jaket tersebut sebagai pengganti payung supaya saya bisa bergerak lebih cepat dan lincah walaupun dalam keadaan hujan.

Ketika saya melewati teras di mana anak-anak dan mbah kakungnya sedang makan mie tek-tek, hati saya rasanya kelu sekali. Rasanya saya sudah terlalu banyak mengabaikan mereka hanya untuk mengurus Uwa di RS. Wajah saya yang lelah menahan tangis terbaca oleh bapak. "Lakukan segala sesuatu dengan suka cita. Kalau memang masih lelah, duduk-duduk sebentar sambil makan mie panas biar agak rileks" bapak berusaha menghibur. Saya hanya menggeleng.

Saya sudah berusaha menutupi kesesakan hati saya, tetapi akhirnya toh tidak berhasil menahan air mata. "Nggak usah nangis! Semua ini ujian dari Tuhan dan kamu harus setia menerima dan menjalaninya" bapak menasehati. "Apakah ujian-ujian yang selama ini belum cukup?" tanya saya lirih sambil menangis.
"Belum! Masih banyak yang harus kamu pelajari dalam hidup ini" jawab bapak.
"Dari semua anak bapak, tidak ada yang diuji Tuhan seberat saya. Saya ingat sekali, dulu waktu saya TK, saya tidak bisa bermain sebebas kakak-kakak yang lain. Waktu itu justru saya yang paling bontot yang harus melayani ibu buang air di pispot selama ibu sakit" kata saya sambil terisak, mengingat masa lalu di mana saya harus drop out dari TK.

"Dulu semua kakakmu kan sudah bersekolah, jadi cuma kamu yang masih TK yang bisa membolos" bapak meminta pengertian.
"Tapi, waktu lulus SMA dulu saya juga dikorbankan tidak bisa ikut bimbingan tes dan seleksi UMPTN karena harus merawat Pak Dhe. Kakak-kakak yang lebih disayang Pak Dhe saat sehat, justru bisa cuek" saya mencoba mengingat betapa berat ujian yang saya alami.
"Itulah ujian dari Tuhan, supaya kamu bisa belajar melayani orang yangsehari-harinya tidak menyayangimu" bapak terus berusaha menghibur.
"Sekarang ini saya benar-benar ibarat sudah jatuh tertimpa tangga juga. Badan saya rasanya sudah remuk, anak-anak tidak terurus, masih juga harus mengurus Uwa yang nggak tahu diri. Kakak yang dulu selalu disayang Uwa, tidak ada perhatian sama sekali. Semua masalah sekarang ditimpakan pada saya " saya memuntahkan kelelahan batin saya.
"Kamu nggak boleh bicara seperti itu, pandanglah semua itu sebagai ujian dari Tuhan untuk mengajar kamu supaya menjadi pribadi pengampun yang tegar dan tangguh. Karena kamu sudah melewati ujian-ujian yang belum pernah kakak-kakakmu alami, bapak justru merasa tenang dan lebih siap meninggalkan kamu kalau bapak dipanggil Tuhan nantinya. Kalau bapak meninggal, rasanya bapak tidak ragu lagi meninggalkan kamu yang lebih tangguh dari kakak-kakakmu. Nah, kamu seharusnya mensyukuri ujian-ujian berat itu sebagai berkat Tuhan" bapak berusaha membesarkan hati saya.

Setelah sedikit lega, saya menitipkan anak-anak pada bapak. Tak menunggu waktu lagi, saya bergegas ke rumah sakit. Malam itu saya menembus gelapnya malam yang diselimuti gerimis dan kabut tipis.

Sesampainya di RS saya langsung menuju ke ruang perawat untuk mengambil resep yang ditinggalkan dokter. Tak menunggu lama, begitu kertas resep itu di tangan, saya melangkah secepat kilat menuju apotik yang berjarak kurang lebih 100 meter dari kamar perawatan. Saya duduk di kursi tunggu sambil melepas kepenatan yang hampir tak berujung. Saya kaget setengah mati ketika petugas apotik menyebutkan sejumlah rupiah yang harus saya bayar. Jantung saya hampir copot karena malam itu saya harus kembali menguras habis seluruh isi dompet saya.

Sebenarnya begitu obat sudah ditebus, saya ingin sekali segera meninggalkan lingkungan yang memuakkan itu. Saya benar-benar malas menengok Uwa. Tapi apa daya, saya tidak punya ongkos untuk pulang ke rumah. Tidak ada pilihan lain selain menjenguk Uwa di kamar perawatan sekaligus meminjam uang untuk ongkos pulang. Saya tahu persis Uwa pasti punya simpanan uang di stagennya.

Sudah bisa diduga, saya kembali kena damprat Uwa, gara-gara datang terlalu malam. Omelan Uwa kali ini cukup keras hingga didengar oleh semua pasien dibarak itu. Dengan gaya memerintah, Uwa menyuruh saya mengambil pispot danmelayaninya untuk buang air kecil. Dengan gaya "setengah budek" sayamelayani Uwa tanpa berucap sedikitpun."Kalau saja ada kenalan di sekitar rumah sakit, malam ini saya nggak perlumeminjam uang Uwa dan kena semprot gaya majikan tuwa itu" pikir saya dalamhati.

Saya tidak tahu apa yang diceritakan Uwa kepada sesama pasien dan orang-orang yang menunggu di bangsal itu. Namun, kepergian saya malam itu diiringi dengan tatapan sinis dan komentar tak mengenakkan. Seorang ibu jutek dengan logat Sundanya yang kental menyindir saya sebagai anak durhaka yang tidak memperlakukan orang tuanya dengan baik. Walaupun sedikit gondok, saya masih berusaha melangkah dengan kepala tegak. "Ya, justru karena saya bukan anak durhaka, malam ini saya harus pulang untuk mengurus orang tua saya sendiri, yang sejak kedatangannya jauh-jauh dari kampung tidak saya sambut sebagaimana mestinya" kata saya dalam hati.

-bersambung-