Senin, Mei 30, 2005

"Mengasihi Hingga Sakit, Memberi Hingga Tak Tersisa"

catatan gue : Sharing ini gue dapet dari salah satu milis : Komunitas Penjunan yg g ikutin, ditulis oleh Mundhi Sabda Lesminingtyas (mbak Ning), seorang penulis yg juga bekerja di sebuah lembaga yang membela dan memperjuangkan hak-hak anak (tulisannya pernah beredar luas dikalangan miliser dalam rangka hari Anak Nasional). Blio jg penulis buku "TANGAN YANG MENENUN" yang mengisahkan perjuangan orang tua tunggal dalam mengajar anak tentang kasih dan takut akan Tuhan.Tulisan blio amat menggugah hati g krn saat ini juga g berada dalam sikon yg meskipun ngga sama persis tp ada mirip2nyalahh...ketika g belajar memberi sambil sekaligus meluruhkan segala keegoan g yg ternyata lebih gampang diucapin drpd dijalani...,ketika g dalam hati dpt katakan tanpa nolongin dia pun hidup g teteub bakal baek-baek aja....Kiranya sharing ini jg menjadi berkat sekaligus inspirasi buat yg kebetulan nengokin rumah g ini...happy reading...Image hosted by Photobucket.com

Mengasihi Hingga Sakit, Memberi Hingga Tak Tersisa - 1

Oleh : Lesminingtyas*

Beberapa minggu yang lalu hidup saya dibuat pontang-panting oleh Uwa; pembantu yang mengasuh si bungsu Mika. Nenek tua itu kembali sakit. Saya pun membawa Uwa ke dokter praktek yang berjarak kurang lebih 50 meter dari rumah. Menurut dokter, tekanan darah Uwa cukup tinggi, yaitu 180/110. Namun saya cukup tenang karena dokter berjanji akan memberikan obat penurun tekanan darah.

Sehari setelah berobat ke dokter, kondisi Uwa justru semakin memburuk. Sorenya, sepulang saya dari kantor, Uwa mengeluh pusing. Saya pun segera memapahnya untuk kembali ke dokter. Belum juga keluar pintu rumah, hidung Uwa mengeluarkan darah segar. Saya pun tetap memapah Uwa menuju tempat praktek dokter. Walaupun tempat praktek dokter tidak terlalu jauh, namun badan Uwa yang lebih tinggi dan lebih besar yang menyandar tak seimbang kebadan saya, membuat langkah kaki saya terseok-seok.

"Ternyata memang sangat berat jika 'pasak' lebih besar dari pada tiang" pikir saya dalam hati. Sebagian berat badan Uwa yang ditimpakan ke pundak kiri saya, membuat tangan kiri serasa lumpuh. Sampai-sampai pundak dan dada kiri saya dibanjiri darah segar pun, saya tidak merasakan apa-apa lagi. Hanya bau anyir yang menyengat yang membuat saya tidak nyaman. Sebenarnya saya sangat jijik dengan darah, tetapi malam itu tidak ada pilihan lain.

Saya mulai cemas ketika ruang praktek dokter itu gelap gulita. Dari papan nama dokter saya tahu bahwa praktek tersebut baru dibuka jam 20.00. Melihat darah yang mengucur deras dan kondisi badan Uwa yang sangat lemah, saya tidak yakin Uwa bisa bertahan kalau harus menunggu 2 jam lagi. Dengan tertatih-tatih, saya memapah Uwa kembali ke rumah dan mendudukkannya dikursi teras.

Untuk memberikan pertolongan pertama, saya mencoba menundukkan kepala Uwa dan menyiramnya dengan air kran. Seperti biasa, Uwa marah-marah karena kedinginan. Saya pun mencoba dengan cara lain. Pontang-panting, saya berlarike sana ke mari bak orang kesurupan untuk mencari daun sirih. Sayang sekali tak seorang tetanggapun yang menanam sirih. Tidak ada cara lain, kecuali membawa Uwa ke klinik. Namun untuk meminta bantuan tetangga rasanya tidak mungkin karena semua warga sedang menjalankan sholat maghrib.

Karena darah Uwa terus membanjiri teras, tidak ada pilihan lain selain lari ke perempatan jalan untuk memanggil ojek. Saya mencarter 2 ojek untuk membawa Uwa ke klinik 24 jam. Karena darah Uwa masih terus mengalir, tukang ojek meminta kain untuk menutup hidung Uwa. Tanpa pikir panjang, Dika langsung memberikan sarung kesayangannya.

Karena klinik 24 jam hanya berjarak kurang lebih 2 km, saya tidak menitipkan anak-anak kepada tetangga. Saya pikir Dika sudah cukup besar untuk menjaga adiknya barang 15-30 menit. Saya hanya berpesan kepada Dika untuk menemani adiknya dengan tenang selama saya pergi. Saya berjanji kepada anak-anak untuk segera pulang sambil membawa lauk untuk makan malam.Dokter di klinik 24 jam itu sangat sigap. Dalam hitungan detik, sarung tangan telah membalut kedua tangannya. Dokter itu siap memasukkan tampon kelubang hidung Uwa. Wajah dokter itu mulai tegang ketika satu tampon yang dimasukkannya langsung terdorong keluar oleh derasnya darah dari hidung Uwa. Dua tampon dicoba dimasukkan ke satu lubang hidung Uwa sekaligus, tapi masih mental juga. Tidak sampai 5 menit memberikan pertolongan, dokter itupun menyerah dan meminta saya untuk segera membawa Uwa ke rumah sakit besar.

Saya bingung sekaligus panik karena tidak ada satu orang dewasa pun di rumah yang menjaga anak-anak. Saya juga bingung dan merasa tidak mampu untuk membawa Uwa sendirian ke rumah sakit. Karena tukang ojek yang saya carter masih ada di situ, saya pun meminta salah satunya untuk menemani saya kerumah sakit besar. Saya dan dokter memapah Uwa ke pinggir jalan, sementara tukang ojek mencari angkot untuk dicarter ke rumah sakit. Karena saya tidak enak hati mengotori baju dokter saya menyangga seluruh berat badan Uwa yang sudah mulai lemas itu dengan bahu saya. Darah Uwa pun mulai mengalir sampai ke pakaian dalam saya. Jijik sekali rasanya.

Kira-kira 5 menit, tukang ojek itu kembali dengan angkot kosong yang siap mengantar kami ke rumah sakit. Dokter yang tidak mau saya bayar itu pun membantu saya mengangkat Uwa masuk ke dalam angkot.

Selama di perjalanan saya dan tukang ojek yang sebelumnya tidak saya kenal itu mengapit Uwa. Ketika sopir angkot menanyakan rumah sakit mana yang akan kami tuju, saya tidak segera menjawab. Sebaliknya, saya meminta pendapat sopir angkot dan tukang ojek untuk memilih rumah sakit. Sebenarnya rumah sakit langganan keluarga saya tidak terlalu jauh dari rumah, tetapi tarifnya tergolong mahal.

Sambil membiarkan keduanya berdiskusi, saya menelpon dan mengirim SMS ke semua kakak dan orang tua saya. Saya berharap mereka memberikan komitmen untuk membantu biaya, sehingga saya bisa memilih rumah sakit yang terdekat. Namun, hingga rumah sakit langganan saya terlewati, tidak ada seorang kakakpun yang menyatakan kesanggupanya untuk membantu pembiayaan Uwa.

Tangan kanan saya masih terus menyangga Uwa sedangkan tangan kiri sibuk mengirim SMS untuk mengabari anak-anak Uwa dan memintanya datang ke Bogor. Saya berharap setelah masuk rumah sakit, perawatan Uwa sudah menjadi tanggung jawab dokter dan anak-anaknya, sehingga saya tinggal memikirkan biayanya saja. Namun saya harus puas dengan jawaban anak-anak Uwa yang tidak bersedia datang dan menimpakan tanggung jawab seluruhnya kepada saya.

Saya berhenti memainkan ponsel ketika tukang ojek itu meminta saya memilih 2 alternatif rumah sakit pemerintah yang ditawarkannya. Rumah sakit pertama memang cukup murah, tetapi letaknya agak menjorok ke dalam sehingga untuk menengoknya saya harus berjalan kaki agak jauh. Supaya saya bisa menengok Uwa sepulang dari kantor, saya pun memilih rumah sakit kedua yang lebih mahal sedikit tetapi terletak persis di pinggir jalan. Walaupun saya sudah memutuskan rumah sakit yang akan kami tuju, tetapi perjalanan tidak bisa dipacu karena malam itu angkot masih memadati jalanan hingga kota kami layak disebut sebagai "kota angkot" . Saya mulai panik ketika nafas Uwa mulai tersendat-sendat. Saya kuatir kalau-kalau Uwa menghembuskan nafas di dalam angkot. Sambil tangan kiri menyangga kain sarung untuk menadahi darah Uwa yang terus mengalir, tangan kanan tetap menahan badan Uwa.

Rasa dan bau badan saya sudah tak karuan. Saya yang sore itu belum sempat mandi dan masih mengenakan baju kerja, benar-benar harus bermandi darah. Bau anyir dan rasa jijik mulai merata di sekujur tubuh saya. Melihat Uwa terkulai lemas, saya pun semakin panik. Jantung saya bergerak lima kali lebih cepat karena rasa takut yang amat sangat. Saya mencoba kembali mengambil ponsel dari saku celana saya yang sudah mulai basah oleh darah. "Pak, tolong cepat datang. Uwa kayaknya sudah nggak kuat !" saya menelpon bapak saya setengah merengek.

Ayah saya pun menjawab, "Mintalah pertolongan Tuhan! Bapak akan segera berangkat ke Bogor" bapak mencoba menenangkan saya. Bapak yang tahu betul bahwa saya tidak tahan mengahadapi orang mati, tidak mungkin tega membiarkan saya menghadapi Uwa sendirian. Saya mencoba berdoa sambil berharap bapak akan datang secepatnya "Tuhan, sekiranya Engkau ingin memanggil Uwa, panggilah! Tapi kalau masih boleh menawar, tolong terlebih dulu kirimkan satu saja penolong untuk saya !"

Melihat kondisi Uwa yang terus melemah dan jalanan yang masih macet,berkali-kali saya berbisik di telinganya "Uwa, minta kekuatan dari Tuhan Yesus, ya!" Kalau Uwa diam saja, tak bosan-bosan saya membisikinya berulang-ulang hingga Uwa menganggukkan kepala sambil mulutnya lirih menyebut nama Tuhan Yesus.

Begitu angkot yang kami tumpangi masuk ke halaman RS, tukang ojek itu meminta saya mendaftar ke UGD. Saya pun mengiyakannya dan langsung meloncat ke luar dan berlari menuju bagian pendaftaran UGD. Tukang ojek bersama sopir angkot mengangkat Uwa masuk UGD.

Sementara Uwa ditangani dokter dan juru rawat di UGD, saya membayar sewa angkot dan meminta tukang ojek untuk tetap tinggal menemani saya. Satu hal yang ada dalam pikiran saya, kalaupun Uwa meninggal, masih ada tukang ojek yang menemani saya mengurus jenazahnya.

Dalam keadaan panik, saya sempat kena marah petugas administrasi karena waktu ditanya umur dan nama suami Uwa, saya tidak tahu. Dengan sok kuasa ia menakut-nakuti saya "Kalau tidak ada suaminya, kita tidak bisa menolongnya?" "Maaf Bu, sejak kecil saya tidak tahu siapa suaminya. Memangnya kenapa harus ditanyakan suaminya?" tanya saya tak mengerti. "Kalau tidak ada suaminya, siapa yang akan bertanggung jawab?" katanya ketus. "O..jadi yang dibutuhkan bukan suaminya, tapi orang yang bertanggung jawab khan? Kalau cuma itu, saya akan berusaha untuk bertanggung jawab" jawab saya merendah.

Mungkin karena melihat saya yang hanya mengenakan sandal jepit dan celana panjang yang kelupaan masih saya gulung mirip orang kebanjiran, petugas administrasi itu mulai meragukan saya. Terlebih badan dan pakaian saya yang tak layak dan menebar aroma tak sedap. "Nih lihat, harus mbayar segini ! Apakah Teteh sanggup?" tanyanya ragu. Petugas itu semakin ragu ketika melihat dompet yang sudah saya kuras hingga ke receh-recehnya, tetap belum memenuhi sejumlah uang yang diminta. Saya minta ijin keluar sebentar untuk meminjam uang kepada tukang ojek itu. Akhirnya saya pun bisa memenuhi uang yang diminta itu setelah tukang ojek bersedia menguras seluruh isi dompetnya.

-bersambung-

Tidak ada komentar: