Kamis, Juni 16, 2005

KISAH KEMANUSIAAN DI NEGERI TERCINTA

Today g pengin nge-post 2 buah puisi yg didedikasikan tuk seorang anak perempuan yg meninggal dunia tp utk pemakamannya dibawa bapaknya dg KRL. Kisah ini telah banyak menuai simpati dari banyak orang dan mempertanyakan dimanakah perlindungan pemerintah utk orang2 miskin dinegeri ini, sehingga seorang bapak kesulitan memakamkan anaknya yg telah meninggal dunia.... Image hosted by Photobucket.comImage hosted by Photobucket.com

KISAH DARI NEGERI YANG MENGGIGIL
Dari M Faiz buat adinda Khaerunisa

Kesedihan adalah kumpulan layang-layang hitam
yang membayangi dan terus mengikuti
hinggap pada kata-kata
yang tak pernah sanggup kususun
juga untukmu, adik kecil

Belum lama kudengar berita pilu
yang membuat tangis seakan tak berarti
saat para bayi yang tinggal belulang
mati dikerumuni lalat karena busung lapar

: aku bertanya pada diri sendiri
benarkah ini terjadi di negeri kami?

Lalu kulihat di televisi
ada anak-anak kecil
memilih bunuh diri
hanya karena tak bisa bayar uang sekolah
karena tak mampu membeli mie instan
juga tak ada biaya rekreasi

Beliung pun menyerbu
dari berbagai penjuru
menancapi hati
mengiris sendi-sendi diri
sampai aku hampir tak sanggup berdiri

: sekali lagi aku bertanya pada diri sendiri
benarkah ini terjadi di negeri kami?

Lalu kudengar episodemu adik kecil
Pada suatu hari yang terik
nadimu semakin lemah
tapi tak ada uang untuk ke dokter
atau membeli obat
sebab ayahmu hanya pemulung
kaupun tak tertolong

Ayah dan abangmu berjalan berkilo-kilo
tak makan, tak minum
sebab uang tinggal enam ribu saja
mereka tuju stasiun
sambil mendorong gerobak kumuh
kau tergolek di dalamnya
berselimut sarung rombengan
pias terpejam kaku

Airmata bercucuran
peluh terus bersimbahan
Ayah dan abangmu
akan mencari kuburan
tapi tak akan ada kafan untukmu
tak akan ada kendaraan pengangkut jenazah
hanya matahari mengikuti
memanggang luka yang semakin perih
tanpa seorang pun peduli

: aku pun bertanya sambil berteriak pada diri
benarkah ini terjadi di negeri kami?

Tolong bangunkan aku, adinda
biar kulihat senyummu
katakan ini hanya mimpi buruk
ini tak pernah terjadi di sini
sebab ini negeri kaya, negeri karya.
Ini negeri melimpah, gemerlap.
Ini negeri cinta

Ah, tapi seperti duka
aku pun sedang terjaga
sambil menyesali
mengapa kita tak berjumpa, Adinda
dan kau taruh sakit dan dukamu
pada pundak ini

Di angkasa layang-layang hitam
semakin membayangi
kulihat para koruptor
menarik ulur benangnya
sambil bercerita
tentang rencana naik haji mereka
untuk ketujuh kalinya

Aku putuskan untuk tak lagi bertanya
pada diri, pada ayah bunda, atau siapa pun
sementara airmata menggenangi hati dan mimpi.

: aku memang sedang berada di negeriku
yang semakin pucat dan menggigil

(Abdurahman Faiz, 7 Juni 2005)


GADIS KECIL DALAM GEROBAK KUMUH
dari Ikranegara
berkabung untuk: nur khoirun nisa & bangsaku

Gerobak kumuh gerobak pemulung di bawah sorot
Terik matahari globalisasi
Jakarta kota metropolitan
Perkasa dan angkuh
Bergemuruh geram suara mesin-mesinnya

Gadis kecil di dalam gerobak kumuh gerobak pemulung
Tak lagi bisa tertawa ceria seperti dahulu ketika gerobak berlari
Terbuncang-buncang didorong ayah dan abang tersayang
Dengan canda ria
Sekembalinya mereka bertiga dari nyetor kardus bekas
Kaleng bekas kertas bekas botol bekas
Plastik bekas telah dibayar juragan pemulung berkumis lebat
Pipinya cekung menyedot rokok kretek

Gadis kecil di dalam gerobak kumuh gerobak pemulung
Tak lagi bisa berpegang keras-keras pada tepi gerobak kumuh
Dengan tangannya yang mungil agar tak terjatuh ke lantai gerobak
Seperti dahulu ketika menuju ke Puskesmas untuk berobat
Karena ia terserang penyakit muntah-berak

Gadis kecil di dalam gerobak kumuh gerobak pemulung
Untuk penyakitnya itu hanya sekali pernah diperiksakan
Ke dokter di Puskesmas milik pemerintah
Kali lainnya tak mampu diulang kembali karena orang tuanya
Tak sanggup membayar biaya kesehatan
Untuk gadis kecilnya
Di dalam gerobak kumuh gerobak pemulung

Duit penghasilan ayah papa ayah pemulung
Cumalah secuil saja daya beli rupiahnya
Bahkan tak berdaya untuk membeli makan
Dari hari ke hari esoknya

Oi? gerobak kumuh gerobak pemulung di bawah sorot
Terik matahari globalisasi
Jakarta kota metropolitan
Perkasa dan angkuh
Bergemuruh geram suara mesin-mesinnya

Oi? di lantaimu gadis kecil terbujur kaku
Wajahnya basah oleh tetesan air menetes-netes
Tapi kedua bola matanya tak lagi bercahaya

Oi? Dadanya tak lagi berdegup jantung
Dan tetes air yang menetes-netes itu
Bukanlah gerimis
Tetes itu airmata duka
Bukan hanya dari mata orang tuanya saja
Tetes itu air mata kita semua

(Ikranagara : Bethesda, MD, 8 Juni 2005)
.

Tidak ada komentar: