Sabtu, Juni 18, 2005

Jangan Membiasakan Menjepit Gagang Telpon

Tonjolan tulang dapat memutuskan saluran pembuluh darah dan memicu stroke. Peringatan berikut ini mungkin perlu di perhatikan benar oleh para sekretaris, operator, konsultan, dokter dan para karyawan yang sering menggunakan telepon.

Ingat, janganlah terlampau sering melepaskan gagang telepon daritangan anda dan meletakkannya di antara pundak dan telinga, sementara tangan melakukan aktivitas lain. Konon, perilaku semacam itu bisa menyebabkan stroke. Demikian dikemukakan seorang ahli syaraf asal Perancis pada Jurnal
Kesehatan beberapa waktu lalu.

Seorang psikiater yang biasa berbicara lewat telepon yang terjepit di telinga kiri dan pundaknya lebih dari satu jam, dilaporkan menderita stroke ringan. Kejadian nahas itu terjadi akibat adanya tonjolan tulang yang memutuskan saluran pembuluh nadi. Menurut tim dokter yang meneliti kasus tersebut, pria berusia 43 tahun yang terbiasa berbicara dengan pasien-pasiennya pada mulanya sehat-sehat saja.

Namun, seusai memberikan konsultasi kepada pasiennya di psikiater ini mengeluhkan kebutaan sementara pada mata kirinya, telinga kirinya pun seperti merasakan sebuah dengung. Tak hanya itu, dia pun mengaku kesulitan untuk berbicara. Kondisi ini menunjukkan bahwa dirinya menderita stroke ringan.

Dari hasil pemindahan tampaklah adanya sobekan pada dinding arteri bagian dalam dari organ tubuh si pria tadi. Sobekan tadi jelas mempengaruhi saluran pengiriman darah yang menuju ke otak. Seperti diketahui, pada tubuh manusia terdapat dua kelenjar arteri yang bertugas menyalurkan darah yang mengandung oksigen dari jantung menuju kepala dan leher. Kedua saluran arteri tersebut naik di kedua sisi leher, dari jantung menuju otak. Pada gambar scanning tampaklah adanya sebuah peruncingan tulang yang lazim di sebut sebagai proses stiloid, yang menyebabkan adanya kontak antara tulang (pada bagian leher) dengan arteri.

Sebenarnya, setiap orang memiliki dua tulang stiboid ini. Keduanya menonjol dari dua sisi tulang tengkorak,tepat di bawah telinga dan di belakang tulang rahang. Namun, tulang yang dimiliki psikiater tadi lebih panjang dari biasanya.

Mathieu Zuber, ahli syaraf dari rumah sakit Saint Anne, Paris
mengatakan, "Untungnya pasien ini hanya mengalami serangan insemik berkala, atau terjadi penghentian suplai darah menuju otak yang kurang dari 24 jam". Dengan begitu, hanya stroke ringanlah yang menyerang psikiater yang biasa bertelepon dengan pasiennya tadi. "Namun, kejadian ini menunjukkan kepada kita bahwa aktivitas setiap hari yang melibatkan penyimpangan agak lama di bagian leher, seperti menggunakan telepon dengan menghimpit antara telinga dan pundak, bisa menimbulkan masalah yang tidak terduga bagi sebagian orang," tambahnya.

Ia menambahkan, psikiater tersebut tidak mengalami gejala stroke terlalu lama. Namun, sejak kejadian itu, ia tidak mau lagi melakukan pembicaraan dengan cara menghimpit telepon di antara telinga dan pundaknya saat melayani keluhan pasien-pasiennya, oleh sebab itu mulai dari sekarang hilangkan kebiasaan tersebut

"lebih baik mencegah sebelum hal itu terjadi pada kita semua"

Jumat, Juni 17, 2005

TUKANG CUKUR........ Image hosted by Photobucket.com

Ada seorang tukang cukur tua yang baik hati disebuah kota di United States.

Suatu hari seorang penjual bunga datang kepadanya untuk memotong rambut. Selesai potong rambut, dia bermaksud membayar tetapi tukang cukur menjawab :

"Maaf, saya tidak dapat menerima uang dari mu. Saya melakukan pelayanan".

Sipenjual bunga sangat gembira dan meninggalkan tukang cukur tersebut.
Pada keesokan paginya, ketika si tukang cukur membuka toko, ada sebuah kartu ucapan terima kasih dan selusin bunga mawar yang telah menanti di depan pintu.

Seorang polisi datang untuk potong rambut dan dia pun bermaksud membayar setelah selesai dipotong rambutnya. Tetapi, si tukang cukur pun menjawab :

"Maaf, saya tidak dapat menerima uang dari mu. Saya melakukan pelayanan".

Si polisi pun sangat gembira dan meninggalkan tukang cukur tersebut.
Pada keesokan paginya,ketika si tukang cukur membuka toko, ada sebuah kartu ucapan terima kasih dan selusin donat yang telah menanti didepan pintu.

Dihari berikutnya datanglah seorang software engineer dari Indonesia untuk potong rambut, ketika dia hendak membayar, si tukang cukur pun menjawab :

"Maaf, saya tidak dapat menerima uang dari mu. Saya melakukan pelayanan".

Si software engineering dari Indonesia pun amat sangat gembira dan meninggalkan tukang cukur tersebut. Pada keesokan paginya, ketika si tukang cukur membuka toko... coba tebak !!! apa yang tukang cukur temukan di depan pintu ????????????????????????????







Dapatkah kamu menebaknya ???????????







Apakah kamu belum tau jawabannya????????????








Ayo.........Berfikirlah SEBAGAI ORANG INDONESIA......!!!!!! Image hosted by Photobucket.com











Ok!!!!!OK!!!!!!!!!!!!!!!

Selusin orang Indonesia telah menunggu untuk potong rambut GRATIS !!!!!Image hosted by Photobucket.comImage hosted by Photobucket.com

adduuuuhhh...ini penghinaan ato kenyataan siiihhhhhhhh...? jangan2 g termasuk barisan dari mereka...hiksss...Image hosted by Photobucket.comImage hosted by Photobucket.comImage hosted by Photobucket.com

Kamis, Juni 16, 2005

KISAH KEMANUSIAAN DI NEGERI TERCINTA

Today g pengin nge-post 2 buah puisi yg didedikasikan tuk seorang anak perempuan yg meninggal dunia tp utk pemakamannya dibawa bapaknya dg KRL. Kisah ini telah banyak menuai simpati dari banyak orang dan mempertanyakan dimanakah perlindungan pemerintah utk orang2 miskin dinegeri ini, sehingga seorang bapak kesulitan memakamkan anaknya yg telah meninggal dunia.... Image hosted by Photobucket.comImage hosted by Photobucket.com

KISAH DARI NEGERI YANG MENGGIGIL
Dari M Faiz buat adinda Khaerunisa

Kesedihan adalah kumpulan layang-layang hitam
yang membayangi dan terus mengikuti
hinggap pada kata-kata
yang tak pernah sanggup kususun
juga untukmu, adik kecil

Belum lama kudengar berita pilu
yang membuat tangis seakan tak berarti
saat para bayi yang tinggal belulang
mati dikerumuni lalat karena busung lapar

: aku bertanya pada diri sendiri
benarkah ini terjadi di negeri kami?

Lalu kulihat di televisi
ada anak-anak kecil
memilih bunuh diri
hanya karena tak bisa bayar uang sekolah
karena tak mampu membeli mie instan
juga tak ada biaya rekreasi

Beliung pun menyerbu
dari berbagai penjuru
menancapi hati
mengiris sendi-sendi diri
sampai aku hampir tak sanggup berdiri

: sekali lagi aku bertanya pada diri sendiri
benarkah ini terjadi di negeri kami?

Lalu kudengar episodemu adik kecil
Pada suatu hari yang terik
nadimu semakin lemah
tapi tak ada uang untuk ke dokter
atau membeli obat
sebab ayahmu hanya pemulung
kaupun tak tertolong

Ayah dan abangmu berjalan berkilo-kilo
tak makan, tak minum
sebab uang tinggal enam ribu saja
mereka tuju stasiun
sambil mendorong gerobak kumuh
kau tergolek di dalamnya
berselimut sarung rombengan
pias terpejam kaku

Airmata bercucuran
peluh terus bersimbahan
Ayah dan abangmu
akan mencari kuburan
tapi tak akan ada kafan untukmu
tak akan ada kendaraan pengangkut jenazah
hanya matahari mengikuti
memanggang luka yang semakin perih
tanpa seorang pun peduli

: aku pun bertanya sambil berteriak pada diri
benarkah ini terjadi di negeri kami?

Tolong bangunkan aku, adinda
biar kulihat senyummu
katakan ini hanya mimpi buruk
ini tak pernah terjadi di sini
sebab ini negeri kaya, negeri karya.
Ini negeri melimpah, gemerlap.
Ini negeri cinta

Ah, tapi seperti duka
aku pun sedang terjaga
sambil menyesali
mengapa kita tak berjumpa, Adinda
dan kau taruh sakit dan dukamu
pada pundak ini

Di angkasa layang-layang hitam
semakin membayangi
kulihat para koruptor
menarik ulur benangnya
sambil bercerita
tentang rencana naik haji mereka
untuk ketujuh kalinya

Aku putuskan untuk tak lagi bertanya
pada diri, pada ayah bunda, atau siapa pun
sementara airmata menggenangi hati dan mimpi.

: aku memang sedang berada di negeriku
yang semakin pucat dan menggigil

(Abdurahman Faiz, 7 Juni 2005)


GADIS KECIL DALAM GEROBAK KUMUH
dari Ikranegara
berkabung untuk: nur khoirun nisa & bangsaku

Gerobak kumuh gerobak pemulung di bawah sorot
Terik matahari globalisasi
Jakarta kota metropolitan
Perkasa dan angkuh
Bergemuruh geram suara mesin-mesinnya

Gadis kecil di dalam gerobak kumuh gerobak pemulung
Tak lagi bisa tertawa ceria seperti dahulu ketika gerobak berlari
Terbuncang-buncang didorong ayah dan abang tersayang
Dengan canda ria
Sekembalinya mereka bertiga dari nyetor kardus bekas
Kaleng bekas kertas bekas botol bekas
Plastik bekas telah dibayar juragan pemulung berkumis lebat
Pipinya cekung menyedot rokok kretek

Gadis kecil di dalam gerobak kumuh gerobak pemulung
Tak lagi bisa berpegang keras-keras pada tepi gerobak kumuh
Dengan tangannya yang mungil agar tak terjatuh ke lantai gerobak
Seperti dahulu ketika menuju ke Puskesmas untuk berobat
Karena ia terserang penyakit muntah-berak

Gadis kecil di dalam gerobak kumuh gerobak pemulung
Untuk penyakitnya itu hanya sekali pernah diperiksakan
Ke dokter di Puskesmas milik pemerintah
Kali lainnya tak mampu diulang kembali karena orang tuanya
Tak sanggup membayar biaya kesehatan
Untuk gadis kecilnya
Di dalam gerobak kumuh gerobak pemulung

Duit penghasilan ayah papa ayah pemulung
Cumalah secuil saja daya beli rupiahnya
Bahkan tak berdaya untuk membeli makan
Dari hari ke hari esoknya

Oi? gerobak kumuh gerobak pemulung di bawah sorot
Terik matahari globalisasi
Jakarta kota metropolitan
Perkasa dan angkuh
Bergemuruh geram suara mesin-mesinnya

Oi? di lantaimu gadis kecil terbujur kaku
Wajahnya basah oleh tetesan air menetes-netes
Tapi kedua bola matanya tak lagi bercahaya

Oi? Dadanya tak lagi berdegup jantung
Dan tetes air yang menetes-netes itu
Bukanlah gerimis
Tetes itu airmata duka
Bukan hanya dari mata orang tuanya saja
Tetes itu air mata kita semua

(Ikranagara : Bethesda, MD, 8 Juni 2005)
.

Jumat, Juni 03, 2005

Mengasihi Hingga Sakit, Memberi Hingga Tak Tersisa" - 5 (habis)
Oleh Lesminingtyas*

Walaupun semua anak kandung Uwa dan keempat kakak saya yang pernah diasuh Uwa, lepas tangan atas biaya pengobatan Uwa yang mencapai 8 digit, saya masih tetap merelakan puluhan ribu pulsa saya untuk mengabari mereka satu persatu. Kala itu saya tidak lagi mengabarkan kesusahan dan mengemis belas kasihan mereka. Saya hanya ingin menyampaikan kabar suka cita bahwa Uwa sudah sehat dan saya pun telah keluar dari masalah keuangan.

Kakak kedua yang sejak kecil paling dimanja oleh Uwa, waktu itu justru menawarkan rencana yang tidak berpihak pada Uwa. Kakak yang tahu bahwa gaji Uwa masih saya simpan di rekening khusus, menyarankan saya untuk mengambilnya sebagian sebagai penggantian biaya RS. Kalau menilik hubungan saya dengan Uwa sebagai pembantu dan majikan, saran kakak memang masuk akal. Hanya saja saya tidak mau menodai kerelaan saya yang telah saya lakukan untuk Tuhan. Saya tidak mau memotong sesenpun gaji Uwa karena itu murni hak Uwa. Soal tanggung jawab pengobatan Uwa, itu murni urusan saya dengan Tuhan yang mengijinkan hal tersebut terjadi dalam kehidupan saya.

Ujian untuk "memurnikan kerelaan" juga saya lalui ketika para tetangga menjenguk Uwa baik di RS maupun di rumah. Walaupun perhatian, kunjungan dan bantuan finansial dari tetangga merupakan salah satu "tuaian" dari apa yang saya tabur selama ini, tetapi saya tidak mau mengurangi kebahagiaan Uwa. Sebenarnya Uwa juga ingin memberikan semua amplop berisi uang dari para tetangga. Namun dari lubuk hati yang paling dalam, sedikit pun tidak ada keinginan saya untuk mengambil sumbangan yang diberikan kepada Uwa.

Kakak yang sehari-harinya melihat polah tingkah Uwa yang begitu menyesakkan hati, menyarankan saya untuk segera mengirim Uwa pulang dengan mobil travel. Usul kakak memang sangat realistis karena ia tahu persis ketidak siapanmental dan keuangan saya bila Uwa tiba-tiba sakit hingga meninggal nanti.

Walaupun sejujurnya Uwa sama sekali sudah tidak memberi manfaat untuk saya dan anak-anak, tetapi saya ingin tetap memperlakukannya sebagai manusia. Sangatlah tidak manusiawi jika saya membiarkan Uwa yang masih dalam masa pemulihan untuk menempuh perjalanan ke Jawa. Selain itu saya pun tidak yakin ada salah satu anak kandung Uwa atau kakak saya yang bersedia memberi tumpangan kepada Uwa.

Bapak yang selalu mengikuti "perjalanan iman" saya, tahu persis pergumulan saya. Beberapa kali bapak mengajak saya untuk "rapat rahasia" di belakang Uwa dan anak-anak saya. Kami berdua mencari cara terbaik untuk memberi tumpangan kepada Uwa hingga akhir hayatnya, tanpa harus menimbulkan gejolak pada kehidupan orang lain.

Saya dan bapak cukup lama untuk memikirkan nasib Uwa selanjutnya. Bapak tahu persis, sebenarnya hanya saya dan bapak yang masih memberi tempat untuk Uwa. Saya memang satu-satunya anak yang super cuek dan sangat memaklumi kekacauan perilaku dan arogansi Uwa. Namun karena beban hidup yang harus saya tanggung sendirian sudah cukup berat, bapak tidak tega menambah beban saya lagi. Rumah bapak sebenarnya paling cocok sebagai tempat Uwa menjalani sisa hidupnya. Hanya saja, ibu yang cenderung reaktif dan emosional, sangat tidak menyukai sikap dan perilaku Uwa yang tidak bisa menempatkan diri. Kalau kami memaksakan Uwa tinggal di rumah orang tua saya, kami justru kuatir kesehatan dan emosi ibu terganggu.

Atas permintaan bapak, saya mencoba menghubungi kembali keempat kakak saya untuk meminta sedikit saja hati mereka supaya mau memberikan tumpangan untuk Uwa. Walaupun bapak sudah siap dengan jawaban mereka, tapi saya tahu di mata bapak tersirat kekecewaan yang mendalam atas sikap kakak-kakak saya. "Bapak tahu, diantara kelima saudaramu, cuma kamu yang mengerti kasih Kristus. Walaupun hidup kamu secara materi jauh di bawah kakak-kakakmu, tapi cuma kamu yang merasa berkelimpahan dan bisa menolong orang lain" kata bapak dengan mata yang berkaca-kaca.

Setelah berdoa dan bergumul cukup lama, bapak pun menawarkan jalan keluar yang kami rasa paling baik. Bagaimanapun keadaannya, saya harus tetap merawat Uwa hingga pulih dan benar-benar siap untuk menempuh perjalanan ke Jawa. Otomatis saya harus menambah tenaga pembantu untuk merawat Uwa selama masih di rumah saya. Bapak telah memutuskan setelah pulih dan kembali ke Jawa, Uwa akan tinggal bersama para pekerja di rumah kakak pertama yang berjarak kurang lebih 5 km dari rumah orang tua saya. Untuk kebutuhan makan sehari-hari ibu berjanji akan memberikan bahan-bahan mentah yang bisa Uwa olah sendiri. Bapak pun mengingatkan saya untuk memberikan uang "pensiun" setiap bulan untuk Uwa. Walaupun saya tidak boleh besar kepala, tetapi saya tetap bangga karena saya adalah satu-satunya anak yang diminta oleh bapak untuk memberikan uang bulanan buat Uwa.

Setelah 3 minggu Uwa kami rawat di rumah fisiknya pun membaik kembali. Menurut dokter, Uwa cukup kuat untuk menempuh perajalan ke kampung. Uwa pun secara mental sudah siap. Uwa sendiri memang tahu bahwa saya selalu siap membantu siapapun tetapi belum punya kesiapan mental untuk mengurus hari-hari tua Uwa. Dengan berlinang air mata, Uwa memohon "Walaupun aku sudah menghabiskan uang banyak, dan tidak berguna untuk keluarga di sini, mama Dika masih mau kan memberi santunan sampai nanti aku mati? Aku cuma mengandalkan uang kiriman dari Bogor untuk hidup" pintanya memelas.

"Uwa, nggak usah mikir. Nanti semua gaji Uwa saya kasih utuh dan saya tambahi supaya bisa untuk biaya hidup Uwa sampai akhir tahun ini. Nanti libur Natal saya tengok Uwa" kata saya sambil menyodorkan uang gaji dan tambahan lainnya. "Jadi semua biaya pengobatan saya ditanggung seluruhnya sama mama Dika?" tanya Uwa berkaca-kaca. Saya pun hanya mengangguk. "Semua kerelaan mama Dika pasti Tuhan perhitungkan. Tidak ada pengorbanan mama Dika yang Tuhan lupakan. Saya berdoa semoga apa yang mama Dika korbankan untuk saya, Tuhan kembalikan berlipat-lipat" sambung Uwa. "Amen!" jawab saya santai tapi mantap.

Walaupun biaya hidup saya untuk sebulan sudah Tuhan sediakan, tetapi saya masih memutar otak bagaimana mencari uang untuk persiapan Dika masuk SMP. Ketika saya cengar-cengir melihat semua kartu ATM yang tak lagi mengeluarkan uang jika digesek, "manajemen kecil" yang menangani pemasaran buku saya memberikan laporan yang sangat menggembirakan. Buku "TANGAN YANG MENENUN" cetakan 1-2 yang belum sempat dilaunching secara resmi, ternyata laris manis bak kacang goreng. Hasil royalty yang saya dapat rasanya sudah lebih dari cukup untuk membiayai sekolah Dika di SMP.

Tidak berhenti di situ, Tuhan masih memberikan berkat dari royalty untuk cetakan 3-4 yang sama besarnya. Ternyata benar sekali, ketika saya memberikan seluruh apa yang saya miliki dengan penuh kerelaan, Tuhan menggantikannya dengan jumlah yang tak terkira. Namun demikian saya tetap berdoa supaya Tuhan menjaga hati saya sehingga tidak "maruk" dan tetap menjadi seperti yang Tuhan kehendaki. Saya tetap yakin bahwa apa yang Tuhan berikan, bukan untuk saya pribadi. Tuhan mempercayakan berkat itu kepada saya, supaya orang-orang di sekitar saya bisa merasakan kasih Tuhan. Dan akhirnya merekapun memuliakan nama Bapa di Surga.

Ketika saya telah mencapai tingkat "lilo legowo" (rela dengan sepenuh hati) memberikan semua yang saya miliki untuk orang lain, dan tidak mengukuhi berkat yang saya tuai untuk kepentingan diri sendiri, Tuhan pun mengirimkan anak-anakNya untuk menambal lubang-lubang kekurangan saya. Salah satu hamba Tuhan mengirim SMS yang sungguh menguatkan saya "Baca Kel 35 : 20-29 !Memberi bukan karena kelebihan, bukan pula supaya Tuhan berbuat baik kepadakita. Berilah karean keinginan hati yang rela untuk berbagi"

Tuhan juga memberikan saya seorang teman sekaligus bapak rohani yang semula hanya saya kenal lewat dunia maya, untuk semakin menguatkan keyakinan saya tentang berkat Tuhan. Tidak hanya memberikan dukungan moral, bapak rohani yang bermukim di Holland selalu menawarkan bantuan materi untuk saya. Bahkan bapak rohani saya meyakinkan akan adanya jalan yang sedang dirintisnya supaya suatu saat Dika bisa melanjutkan sekolah di Eropa.

Tuhan memang sungguh luar biasa dan begitu kreatif untuk memelihara saya dan anak-anak. Dari perkiraan dan hitungan matematis manusia, Dika hampir kehilangan kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya ke SMP. Namun ketika kepasrahan saya kepada Tuhan benar-benar total, Tuhan justru memberikan jaminan yang lebih. Tidak hanya jaminan untuk biaya pendidikan di SMP, kemungkinan Dika untuk mendapatkan pendidikan di Eropa pun sudah Tuhan buka.

Ketika "mimpi-mimpi" anak-anak saya harus tertunda karena semua yang ada saya relakan untuk diberikan kepada orang lain, Tuhanpun mengirimkan anak-anakNya untuk menggantikan apa yang tidak bisa saya berikan untuk anak-anak. Ketika mimpi Dika untuk memiliki jam tangan harus saya kalahkan, sebagai anak Dika memang sangat kecewa. Namun sebelum kekecewaan itu mematikan semangat Dika, seorang pendeta senior membawakan oleh-oleh jam tangan dari Singapura untuknya.

Dika sangat girang dengan apa yang ia dapatkan. Perasaan saya pun bercampur aduk antara mensyukuri berkat Tuhan dan terharu melihat ungkapan hati Dika yang disampaikan dalam emailnya kepada pendeta senior itu, sebagai berikut : "Pak terima kasih jamnya. Jamnya bagus sesuai keinginan Dika. Jamnya sudah Dika pakai ke sekolah. Teman-teman ikut kagum. Dika bangga punya jam yang bagus seperti teman-teman lain yang masih punya ayah. Dika mau pakai jam itu sampai selama-lamanya" Ternyata apa yang Dika dapat tidak sekedar jam, seperti yang dimintanya dari saya. Ada kebanggaan tersendiri dalam diri Dika karena jam itu didapatnya dari seorang "bapa".

-- selesai --

Kamis, Juni 02, 2005

"Mengasihi Hingga Sakit,Memberi Hingga Tak Tersisa" - 4
Oleh : Lesminingtyas*

Hari-hari berikutnya, saya hampir seperti robot yang harus bangun jam 03.30 untuk menyiapkan sarapan anak-anak dan air panas untuk mandi. Sebelum berangkat ke kantor, saya harus ke RS untuk melayani Uwa buang air kecildengan pispot, memandikan dengan waslap dan mengganti pakaiannya. Walaupun saya sudah berusaha melakukan melebihi dari yang seharusnya, tetapi Uwa selalu membalasnya dengan kemarahan dan ketidak puasannya. Belasan pasang mata juga ikut mengadili saya sebagai anak yang tidak tahu diri. Cemoohan dan sindiran dari orang-orang yang sok tahu, rasanya sudah terlalu biasa ditelinga saya.

Begitu juga sore harinya sekembalinya dari kantor, saya langsung ke RS, sementara bapak yang berumur 70 tahun lebih, yang seharusnya saya urus justru sibuk mengurus anak-anak saya. Hati saya sebenarnya berontak. Ya, saya berontak untuk banyak hal. Paling tidak saya berontak karena tidak bisa memperlakukan bapak dengan selayaknya. Saya juga berontak karena semua pengorbanan saya hanya dibalas dengan kekecewaan dan kemarahan Uwa di depan umum.

Rasanya, saya tidak kuat lagi menghadapi sikap Uwa yang arogan itu. Sekali pernah terlintas dalam pikiran saya untuk membiarkan Uwa terlantar di RS, toh dia bukan "siapa-siapa" saya. Namun, setiap benih kebencian itu muncul di hati saya, bayang-bayang wajah Tuhan Yesus selalu muncul di wajah Uwa. Akhirnya, apapun yang terjadi, bagaimanapun perlakukan Uwa dan sikap orang-orang di bangsal itu, saya coba abaikan. Saya selalu men-setting otaksaya dengan berikir "Sebodo teuing orang mau bikin apa, yang penting gua melakukan yang Tuhan kehendaki. Biar saja orang jungkir balik, tapi saya mau tetap setia pada Matius 25 : 40"

Memang perlu persiapan khusus setiap pagi dan sore saat hendak menjenguk Uwadi RS. Paling tidak saya harus menyiapkan hati, "menelan pil budek" dan menyiapkan muka hingga setebal tembok. Kadang-kadang saya melucu dalam hati untuk menghibur diri sendiri. Ketika seorang penunggu pasien di sebelah Uwa melepas kepergian saya dengan sindiran sinis "Uh, cantik-cantik kok nggak punya perasaan! Kok tega-teganya menelantarkan orang tuanya sendirian" Saya pun berkelakar dalam hati "Masih mending saya cantik biarpun nggak punya perasaan. Dari pada kamu, udah nggak cantik, nggak punya perasaan pula! Karena saya nggak tega menelantarkan orang tua saya sendiri, makanya saya nggak mungkin menunggui emaknya orang lain di rumah sakit"

Ketika ketiga kakak yang cukup berlebih dalam hal ekonomi tidak membalas SMS, saya pun mencoba cara yang lebih sopan dengan menelponnya. Sayang sekali, puluhan ribu pulsa terbuang percuma karena kakak pertama merasa uangnya belum cukup untuk menambah satu mobil lagi untuk memenuhi garasinya. Saya dan bapak hanya geleng-geleng kepala melihat kakak pertama yang masih saja membeli mobil baru, padahal mobil yang telah ada melebihi jumlah anggota keluarganya.

Saya mencoba meminta belas kasihan kakak kedua yang sejak kecil selalu dimanja dan dinomor satukan oleh Uwa. Kakak kedua yang baru mendapat fee puluhan juta dari kliennya ternyata juga masih merasa kekurangan uang karena harus membayar sejumlah kapling untuk melengkapi 3 rumah yang telah dikoleksinya.

Dengan menangis saya mencoba mengemis belas kasihan kakak ketiga yang suaminya punya jabatan di polantas yang hampir bisa dikatakan tinggal membalikkan tangan untuk mendapat uang dalam jumlah yang cukup. Kakak ketiga yang punya hobby mengkoleksi perhiasan itupun tidak peduli dengan Uwa. Dengan gaya pengemis yang memelas saya mencoba meyakinkan kakak bahwa bantuannya sangat berarti untuk saya dan anak-anak, bukan untuk Uwa. Walaupun urat malu saya telah putus, demi mendapatkan bantuan kakak ketiga, namun kakak hanya menawarkan pinjaman dalam bentuk emas. Saya yang tidak tahu fluktuasi harga emas, tentunya sangat takut kalau-kalau nanti saat saya harus mengembalikan pinjaman, harga emas tiba-tiba melonjak naik.

Tak kurang akal, saya mencoba menelpon kembali kakak kedua yang sedang sibuk mencari kapling. Paling tidak saya ingin meminjam uangnya sebelum kakak menemukan kapling yang cocok. Sayang sekali malam itu kakak mengaku tidak punya otioritas sama sekali atas uang miliknya. Kakak menawarkan saya menempuh prosedur yang panjang dan berbelit-belit untuk meminjam uang lewat istrinya yang tak segan-segan berbicara pedas kepada iparnya.

Kakak kedua yang sering tinggal di rumah saya itupun memberi alternatif kepada saya untuk mengambil semua tabungan pendidikan Dika. Dengan perasaan yang sudah tak karu-karuan, saya hanya menjawab lirih. "Kalau semua tabungan Dika diambil, dengan uang apa lagi Dika masuk SMP? Ironis sekali kalau Dika sampai tidak bisa melanjutkan ke SMP hanyagara-gara saya menolong orang yang seharusnya kita tanggung bersama" Tanpa memperhitungkan perasaan saya sebagai ibu, kakak saya pun menawarkan jalan keluar yang membuat hati saya tercabik-cabik "Kalau tidak bisa membayar uang pangkal ke SMP, Dika bisa dititipkan di rumah bapak, biar disekolahkan di kampung" Mendengar saran kakak, tangis saya kontan meledak. "Masa sih, gara-gara menolong orang, anak-anak saya harus berpencar-pencar?!" tangis saya setengah memprotes.

Dika yang tidak tahu menahu pembicaraan saya dengan kakak, tiba-tiba mendatangi saya sambil bertanya "Bu, kenapa Dika dan adik-adik harus berpencar? Memangnya kalau ibu meminjam uang ke saudara, Dika dan adik-adik harus ditahan untuk jaminan?" Mendengar kata-kata Dika hati saya semakin teriris. "Tuhan, ujian apa lagi yang akan Engkau berikan? Apakah saya belum cukup merelakan apa yang saya miliki untuk menolong orang lain? Apakah kerelaan saya ini akan berbuah penderitaan untuk anak-anak saya? Apakah saya harus merelakan seluruh tabungan Dika, sementara saya tidak punya kepastian dari mana biaya masuk SMP untuk Dika? Tuhan, selama ini saya sudah mengekang nafsu saya hanya supaya bisa menabung untuk anak-anak. Haruskah kedisplinan saya untuk menabung justru hanya membuahkan hasil yang berantakan yang serba tidak teratur ini?"

Bapak yang tahu apa yang sedang saya tangisi, berusaha menguatkan hati saya "Ini adalah pelajaran dari Tuhan untuk menguji seberapa besar kerelaan kamu untuk berkorban" "Ini nggak adil, dari dulu saya selalu berkorban menolong orang lain. Apakahpengorbanan saya belum cukup? Apakah saya harus mengorbankan masa depan Dikahanya untuk menolong seorang pembantu?" saya memprotes sambil terisak. "Ini memang ujian yang berat. Tapi kalau kamu berhasil melewatinya, Tuhan sendiri yang akan menyiapkan masa depan kamu dan anak-anakmu" dengan gaya seorang majelis, bapak menasehati.

Walaupun otak saya blank malam itu, saya bertekad untuk menanggung semua biaya Uwa, tanpa harus mengemis belas kasihan kepada orang lain. Untuk biaya pendidikan Dika, saya pun bertekad untuk tidak meminta belas kasihan atau meminjam kepada sanak saudara. "Saya harus bisa sendiri dan hanya boleh mengandalkan Tuhan" begitu janji saya dalam hati.

Saya mencoba bersikap "legowo" menerima segala sesuatunya dengan suka cita dan rasa syukur supaya beban terasa lebih ringan. Namun tidak semudah membalikkan tangan. Ujian yang lebih berat masih Tuhan berikan kepada saya. Ketika Uwa sudah diperbolehkan pulang, saya hampir pingsan melihat tagihanyang jumlahnya mencapai 8 digit. Malam itu, saya tidak hanya menguras habis tabungan pendidikan Dika di Lippo, tetapi juga harus menguras uang gaji di BNI. Bukan hanya fisik saya yang harus mondar-mandir ke dua lokasi ATM, hati saya pun kacau balau tak menentu. Selain memikirkan biaya masuk SMP yang tinggal satu-dua bulan lagi, saya juga pusing memikirkan bagimana saya akan menyambung hidup sampai gajian bulan berikutnya tiba.

Namun entah mengapa, walaupun sisa uang di dompet kurang dari seratus ribu, saya bangga sekali bisa membayar lunas tagihan RS tanpa bantuan dari anak-anak kandung Uwa maupun keempat kakak kandung saya.

Dengan perasaan gagah bak pahlawan menang perang, saya menghampiri Uwa yang sudah bersiap-siap pulang. Semula saya pikir Uwa akan bangga dengan pengorbanan saya. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Uwa kecewa karena kakak saya tidak bisa menjemput dengan mobilnya sehingga Uwa terpaksa saya ajak pulang dengan naik angkot. Sebelum meninggalkan bangsal, Uwa sempat marah-marah karena saya tidak membelikannya sandal. Saya sendiri tidak tahu kemana raibnya sandal yang dipakai Uwa dari rumah. Hilangnya sandal dibangsal itupun Uwa timpakan sebagai kesalahan saya.

Untuk menghindari tatapan mata para penunggu pasien yang tidak ramah, sayapun merelakan sandal saya untuk Uwa. Mau tidak mau, malam itu saya harus menahan jijik menapaki lorong RS yang tidak begitu bersih itu. Tidak tanggung-tanggung, ternyata halaman RS yang harus kami lalui sangat becek sehingga kaki saya mirip kaki petani dari sawah. Orang Sunda yang melihat saya pasti sependapat bahwa keadaan itu benar-benar bikin "geuleuh".

Karena di sekitar RS saya tidak menemukan penjual sandal, saya pun tetap "nyeker" menyeberang jalan untuk mencari angkot yang bisa kami carter sampai di rumah. Tak pelak lagi, setiap sopir angkot selalu memandangi kaki sayayang "udik"; tak beralas sedikitpun lengkap dengan celana panjang yang saya lipat mirip orang kebanjiran.

Sesampainya di rumah, saya tidak bisa langsung istirahat. Saya harus memanaskan air untuk merendam kaki yang mulai gatal-gatal. Perut saya pun kembung karena cukup lama telanjang kaki. Karena banyak tuntutan yang mengharuskan saya bergerak cepat bekas jahitan di lutut saya pun terasa nyeri kembali. Selama ini rasa nyeri tersebut saya hiraukan karena tak sebanding dengan beban yang harus saya selesaikan. Badan saya meriang dan perut saya pun mual. Rasanya kekuatan saya hanya tinggal beberapa persen saja dan mungkin tinggal sejengkal lagi jarak saya dengan sakit.

Ketika bapak menanyakan berapa total uang yang saya keluarkan untuk Uwa, saya hanya menjawab sambil berlinang air mata "Semua gaji, tabungan kesehatan anak-anak dan tabungan pendidikan Dika ludes. Mungkin malam ini, saya adalah orang yang paling miskin di dunia. Cuma ini yang saya punya" kata saya sambil menunjukkan 3 lembar uang dua puluh ribuan "Saya nggak tahu bagaimana saya harus menghidupi anak-anak selama 25 hari lagi, sampai gajian tiba" sambung saya masih dengan berlinang air mata.

Bapak pun menjawab santai "Anak-anakmu itu milik Tuhan, percayalah Tuhan sendiri yang akan memeliharanya. Tuhan itu tidak tidur, tidak kurang bijaksananya dan tidak akan membiarkan anak-anakNya kelaparan" Saya pun merasa tenang karena saya yakin bapak tidak NATO (no action, talk only). Bapak tidak hanya pintar menasehati tetapi juga aktif bertindak. Saya tahu persis, bapak tidak hanya siap dengan nasehat dan doa-doanya, tetapi juga dengan pengorbanan tenaga dan materi yang dimilikinya. "Kira-kira berapa yang kamu butuhkan untuk menyambung hidup sampai kamu gajian? Segini cukup?" tanya bapak sambil menyodorkan segepok uang sisa pensiunnya. "Untuk makan saja sih cukup. Hanya saja, semua uang gaji sudah terpakai untuk membayar rumah sakit, padahal tagihan rumah, telepon, listrik dan SPP Dika belum terbayar" jawab saya ringan, tanpa beban sedikitpun. "Kalau begitu, besok bapak cepat-cepat pulang kampung supaya bisa menjual kopi dan cengkeh yang ada di gudang untuk kamu" bapak menjamin "Nanti untuk biaya masuk SMP Dika, bapak bisa gadaikan SK pensiun ke bank" lanjut bapak. Mendengar kesanggupan bapak, saya kembali menangis. Saya benar-benar tidak tega merampas hak bapak untuk menikmati uang pensiunnya.

Menjelang tidur, saya mencoba-coba membuka email. Sungguh tak terduga, ada beberapa tawaran side job yang saya cukup besar honornya. Saya yang beberapa hari hampir tidak pernah tertawa, malam itu benar-benar girang. "Pak, ternyata berkat Tuhan mengalir pada waktunya. Bapak nggak usah buru-buru pulang kampung, karena saya dapat kerjaan tambahan di beberapa tempat sampai malam hari. Bapak nggak perlu repot-repot membantu keuangan saya. Yang saya perlukan saat ini cuma bantuan tenaga dan perhatian bapak menemani Dika belajar dan menjaga adik-adiknya selama saya tidak ada dirumah" jawab saya kegirangan.

-bersambung-

Rabu, Juni 01, 2005

"Mengasihi Hingga Sakit, Memberi Hingga Tak Tersisa" - 3
Oleh : Lesminingtyas

Kurang lebih jam 03.30 anak-anak saya bangunkan. Setelah mandi dengan air panas yang saya siapkan, Dika menyiapkan sendiri sarapan pagi dan bekal makanan yang akan di bawa ke sekolah. Saya sendiri menyiapkan saparan untuk Mika dan bekal makan siang saya untuk di kantor nanti. Setelah selesai memandikan Mika saya segera bergegas pergi ke rumah sakit untuk melihat keadaan Uwa, sembari pergi ke kantor. Sebelum melangkah ke luar rumah, saya menelpon seorang tetangga yang akan menolong saya untuk menjaga Mika selama saya tinggal bekerja.

Pagi itu saya harus meninggalkan Mika dengan sarapannya. Walaupun saya tahu kalau Mika makan tanpa pengawasan selalu menggunakan tangan kirinya hingga makanan tumpah ke mana-mana mirip makanan ayam, tetapi tidak ada pilihan lain, karena saya tidak mungkin mengambil cuti dadakan. Hanya Dika yang masih bisa menemani Mika sambil menunggu mobil jemputan sekolahnya datang pada pukul 06.00 nanti. Sebenarnya saya dan para tetangga sudah berusaha merayu Mika untuk tinggal di rumah tetangga selama Dika sekolah, tetapi Mika selalu menjawab "Mika nggak mau..Mika sudah punya rumah sendiri". Itulah sebabnya beberapa tetangga bersepakat untuk menemani Mika di rumah secara bergiliran.

Jam 04.30 saya cepat-cepat pergi ke rumah sakit, supaya jam 05.30 saya bisa sampai di tempat pemberhentian bis jemputan langganan saya. Sayang sekali begitu sampai di rumah sakit banyak sekali tugas kemanusiaan yang harus saya lakukan. Selain mengganti baju Uwa yang kotor penuh darah yang sudah mengering, saya juga harus mengelap badan Uwa dengan air hangat yang disediakan oleh RS. Jijik sekali rasanya. Selain saya tak pernah membayangkan akan memandikan seorang pembantu, saya juga tidak siap menggunakan peralatan rumah sakit yang biasa dipakai beramai-ramai itu.

Hati saya sungguh tidak siap melihat sikap Uwa yang semakin sulit dimengerti. Rasanya sudah sewajarnya kalau Uwa berterima kasih setelah saya menelantarkan anak-anak demi mengurus Uwa. Saya sungguh tidak menyangka ketika Uwa marah-marah di depan belasan pasien yang lain ketika saya kurang tepat meletakkan pispot sehingga kencing Uwa sedikit tercecer. Walaupun perut saya sangat mual saat membuang kencing Uwa ke kamar mandi, namun Uwa masih saja menuntut lebih.

Karena Uwa sudah bisa saya dudukkan, saya mencoba melepas stagen dan kainpanjang yang dikenakannya. Ketika saya salah melilitkan kain panjang ketubuh Uwa, dengan arah terbaik dari yang seharusnya, Uwa kembali memarahisaya. Bahkan ketika saya jongkok membetulkan kain di bagian kaki Uwa, Uwamenggerakkan kakinya dengan kasar hampir mengenai muka saya. Hampir sajakesabaran saya habis. Ujung bibir saya hampir tak mampu menahan kalimat yangrasanya pantas untuk saya lontarkan "Emang lu siapa?"

Ingin rasanya saya mengembalikan Uwa pada posisi yang seharusnya, yaitusebagai pembantu. Namun, lagi-lagi saya teringat bahwa ini adalah ujian dariTuhan. Segala sesuatu Tuhan ijinkan terjadi pada diri saya, demi kebaikansaya sendiri. Hampir saja mengingatkan bahwa Uwa adalah pembantu dan sayaadalah majikan yang harus dihormatinya sehingga tidak ada kewajiban bagisaya untuk mengabdi kepadanya. Namun ketika kesombongan itu muncul,tiba-tiba saya merinding membayangkan jika saya tidak sepenuh hati melayaniUwa, jangan-jangan wajah Uwa tiba-tiba berubah menjadi wajah Tuhan Yesus.

Karena terlalu banyak permintaan Uwa, pagi itu saya tidak bisa cepat-cepat meninggalkan RS. Saya pun harus pergi ke kantor dengan kendaraan umum karena sudah ketinggalan bis jemputan. Sudah bisa diduga, kartu absent saya hari itu merah. Tidak main-main, karena 1 menit keterlambatan berarti bonus akhir tahun dipotong sepersekian persennya.

Selama di kantor, saya tidak tahu lagi apakah saya ini tidur sambil duduk atau duduk sambil tidur. Terpaksa saya harus doping dengan multi vitamin dan kopi susu supaya mata bisa diajak melek. Saya sengaja menyelesaikan bahan presentasi yang akan dibawa boss ke luar negeri, supaya waktu selebihnya bisa saya gunakan untuk mengerjakan tugas-tugas kesekretarisan yang agak ringan.

Rasanya makan siang hari itu tidak lagi bisa saya nikmati. Targetnya hanya memasukkan makanan ke dalam perut. Saking ngantuknya, waktu istirahat makan siang yang hanya 30 menit itu saya gunakan 10 menit untuk makan siang dan selebihnya saya pakai untuk tidur di sofa.

Sepulang kerja, sebenarnya saya ingin mampir ke RS seperti yang Uwa minta. Tapi perasaan saya tidak enak karena ingin segera melihat keadaan anak-anak di rumah. Begitu sampai di rumah, saya baru sadar bahwa paginya saya terlalu buru-buru pergi hingga lupa menyiapkan makanan siang untuk anak-anak. Untung saja tetangga yang menemani Mika berinisiatif memasakkan nasi dan menggoreng telor untuk anak-anak.

Malam itu saya tidak punya energi lagi untuk menyiapkan makan malam. Seperti biasanya kalau lagi malas masak, saya meminta Dika membeli japcay di depot mie bangka. Ketika saya menunggui anak-anak makan, saya tertidur di meja makan saking lelahnya. Rencana menjenguk Uwa ke RS malam itu pun batal. Resikonya, saat saya menjenguk ke RS nanti Uwa pasti tak henti-hentikan "menyanyikan" lagu wajib yang semuanya berisi kekecewaan dan kemarahan. Tapi apa hendak dikata, untuk mengontrol anak-anak cuci kaki dan gosok gigi saja, malam itu saya sudah tak sanggup.

Esok paginya, seperti biasa saya membuatkan sarapan untuk anak-anak. Untuk makan siang, saya hanya menyiapkan nasi putih karena saya yakin bapak datang dari kampung membawakan lauk buatan ibu seperti biasanya. Namun karena bapak pergi terburu-buru, dugaan saya kali itu meleset. Bapak yang tidak pernah menuntut dilayani itupun mengajak Dika memasak dari bahan-bahan mentah yang ada di kulkas.

Sore itu saya berencana pergi ke RS setelah mengurus anak-anak dan menyambut kedatangan bapak. Begitu selesai memandikan Mika, saya dan anak-anak menemani bapak minum teh di ruang tamu. Anak-anak saya biarkan "gelendotan" di badan mbah kakungnya, sementara saya merebahkan badan di sofa sambil mendengar kabar keluarga dan suasana di kampung dari bapak. Entah sampai mana saya mendengar cerita bapak, tapi tertidur pulas saat mendengar kisah seru yang bapak ceritakan, memang sudah biasa terjadi sejak saya kecil dulu. Bapak yang tahu kebiasaan buruk saya, memang sudah maklum. Terlebih lagi sore itu saya benar-benar lelah.

Kira-kira jam 20.30 saya dibangunkan Dika karena ada telepon dari RS. Masih setengah tertidur saya menggapai gagang telepon. Saya benar-benar kaget ketika perawat yang menelpon itu meminta saya untuk datang ke RS malam itu juga.
"Ada apa suster? Memangnya pasien dalam keadaan gawat?" tanya saya panik.
"Bukan Bu! Malam ini pasien memerlukan obat suntik yang harus ibu beli sendiri di apotik" jawab si penelpon. "Apakah tidak bisa dibelikan dulu oleh rumah sakit, terus nanti dimasukkan ke dalam tagihan" saya menawar. "Maaf Bu, untuk pasien kelas 3 tidak ada pelayanan semacam itu. Kalau keluarga Ibu dirawat di VVIP, kami bisa membantu. Untuk pasien kelas 3, keluarga pasien harus membeli obat sendiri" jawab si penelpon kurang bersahabat. "Bagaimana kalau misalnya saya datang besok pagi?" saya masih menawar.
"Maaf Bu, ini emergency. Dokter minta obat tersebut harus segera disuntikkan karena kondisi pasien sangat lemah dan HBnya tinggal 6 saja" kata sipenelpon dengan nada memerintah.
"Kalau begitu, bisa nggak obat tersebut cepat dibelikan dulu dan malam inijuga saya akan datang membayar semua harga obat" saya memohon kebijaksanaan.
"Maaf Bu, obatnya sangat mahal dan ibu harus membeli sendiri di apotik. Kami tidak bisa membantu" jawabnya singkat.

Begitu menutup telepon, badan saya rasanya makin loyo saja. Walaupun perjalanan ke RS cuma kira-kira 30 menit, rasanya saya menghadapi perjalanan yang panjang dan melelahkan. Sambil terdiam menahan segala rasa yang berkecamuk, saya mengambil jaket water proof di lemari gantung. Saya memang biasa mengenakan jaket tersebut sebagai pengganti payung supaya saya bisa bergerak lebih cepat dan lincah walaupun dalam keadaan hujan.

Ketika saya melewati teras di mana anak-anak dan mbah kakungnya sedang makan mie tek-tek, hati saya rasanya kelu sekali. Rasanya saya sudah terlalu banyak mengabaikan mereka hanya untuk mengurus Uwa di RS. Wajah saya yang lelah menahan tangis terbaca oleh bapak. "Lakukan segala sesuatu dengan suka cita. Kalau memang masih lelah, duduk-duduk sebentar sambil makan mie panas biar agak rileks" bapak berusaha menghibur. Saya hanya menggeleng.

Saya sudah berusaha menutupi kesesakan hati saya, tetapi akhirnya toh tidak berhasil menahan air mata. "Nggak usah nangis! Semua ini ujian dari Tuhan dan kamu harus setia menerima dan menjalaninya" bapak menasehati. "Apakah ujian-ujian yang selama ini belum cukup?" tanya saya lirih sambil menangis.
"Belum! Masih banyak yang harus kamu pelajari dalam hidup ini" jawab bapak.
"Dari semua anak bapak, tidak ada yang diuji Tuhan seberat saya. Saya ingat sekali, dulu waktu saya TK, saya tidak bisa bermain sebebas kakak-kakak yang lain. Waktu itu justru saya yang paling bontot yang harus melayani ibu buang air di pispot selama ibu sakit" kata saya sambil terisak, mengingat masa lalu di mana saya harus drop out dari TK.

"Dulu semua kakakmu kan sudah bersekolah, jadi cuma kamu yang masih TK yang bisa membolos" bapak meminta pengertian.
"Tapi, waktu lulus SMA dulu saya juga dikorbankan tidak bisa ikut bimbingan tes dan seleksi UMPTN karena harus merawat Pak Dhe. Kakak-kakak yang lebih disayang Pak Dhe saat sehat, justru bisa cuek" saya mencoba mengingat betapa berat ujian yang saya alami.
"Itulah ujian dari Tuhan, supaya kamu bisa belajar melayani orang yangsehari-harinya tidak menyayangimu" bapak terus berusaha menghibur.
"Sekarang ini saya benar-benar ibarat sudah jatuh tertimpa tangga juga. Badan saya rasanya sudah remuk, anak-anak tidak terurus, masih juga harus mengurus Uwa yang nggak tahu diri. Kakak yang dulu selalu disayang Uwa, tidak ada perhatian sama sekali. Semua masalah sekarang ditimpakan pada saya " saya memuntahkan kelelahan batin saya.
"Kamu nggak boleh bicara seperti itu, pandanglah semua itu sebagai ujian dari Tuhan untuk mengajar kamu supaya menjadi pribadi pengampun yang tegar dan tangguh. Karena kamu sudah melewati ujian-ujian yang belum pernah kakak-kakakmu alami, bapak justru merasa tenang dan lebih siap meninggalkan kamu kalau bapak dipanggil Tuhan nantinya. Kalau bapak meninggal, rasanya bapak tidak ragu lagi meninggalkan kamu yang lebih tangguh dari kakak-kakakmu. Nah, kamu seharusnya mensyukuri ujian-ujian berat itu sebagai berkat Tuhan" bapak berusaha membesarkan hati saya.

Setelah sedikit lega, saya menitipkan anak-anak pada bapak. Tak menunggu waktu lagi, saya bergegas ke rumah sakit. Malam itu saya menembus gelapnya malam yang diselimuti gerimis dan kabut tipis.

Sesampainya di RS saya langsung menuju ke ruang perawat untuk mengambil resep yang ditinggalkan dokter. Tak menunggu lama, begitu kertas resep itu di tangan, saya melangkah secepat kilat menuju apotik yang berjarak kurang lebih 100 meter dari kamar perawatan. Saya duduk di kursi tunggu sambil melepas kepenatan yang hampir tak berujung. Saya kaget setengah mati ketika petugas apotik menyebutkan sejumlah rupiah yang harus saya bayar. Jantung saya hampir copot karena malam itu saya harus kembali menguras habis seluruh isi dompet saya.

Sebenarnya begitu obat sudah ditebus, saya ingin sekali segera meninggalkan lingkungan yang memuakkan itu. Saya benar-benar malas menengok Uwa. Tapi apa daya, saya tidak punya ongkos untuk pulang ke rumah. Tidak ada pilihan lain selain menjenguk Uwa di kamar perawatan sekaligus meminjam uang untuk ongkos pulang. Saya tahu persis Uwa pasti punya simpanan uang di stagennya.

Sudah bisa diduga, saya kembali kena damprat Uwa, gara-gara datang terlalu malam. Omelan Uwa kali ini cukup keras hingga didengar oleh semua pasien dibarak itu. Dengan gaya memerintah, Uwa menyuruh saya mengambil pispot danmelayaninya untuk buang air kecil. Dengan gaya "setengah budek" sayamelayani Uwa tanpa berucap sedikitpun."Kalau saja ada kenalan di sekitar rumah sakit, malam ini saya nggak perlumeminjam uang Uwa dan kena semprot gaya majikan tuwa itu" pikir saya dalamhati.

Saya tidak tahu apa yang diceritakan Uwa kepada sesama pasien dan orang-orang yang menunggu di bangsal itu. Namun, kepergian saya malam itu diiringi dengan tatapan sinis dan komentar tak mengenakkan. Seorang ibu jutek dengan logat Sundanya yang kental menyindir saya sebagai anak durhaka yang tidak memperlakukan orang tuanya dengan baik. Walaupun sedikit gondok, saya masih berusaha melangkah dengan kepala tegak. "Ya, justru karena saya bukan anak durhaka, malam ini saya harus pulang untuk mengurus orang tua saya sendiri, yang sejak kedatangannya jauh-jauh dari kampung tidak saya sambut sebagaimana mestinya" kata saya dalam hati.

-bersambung-

Selasa, Mei 31, 2005

"Mengasihi Hingga Sakit, Memberi Hingga Tak Tersisa" - 2
Oleh : Lesminingtyas

Hati saya mulai lega ketika Uwa sudah ditangani dokter. Namun rasa lega itu mulai surut ketika dokter jaga yang super jutek itu memanggil saya dan bertanya. "Situ anaknya, ya?" Belum sempat saya menjawab, dokter itu kembali menunjukkan kejutekannya "Kenapa ibunya ditinggalkan sendiri? Jagain dong! Pegangin tuh tampon dihidungnya!" kata dokter itu sambil menyerahkan beberapa gulung tampon dengan kasar "Di sini banyak pasien sedangkan dokter cuma satu, jadi yang seperti ini harus dilakukan oleh keluarga pasien sendiri!" sambungnya ketus. "Apakah tidak ada cara lain untuk menghentikan pendarahannya, Dok?" tanya saya pelan."Mau dengan cara apa? Menghentikan pendarahan orang yang sudah terlalu tua dan hipertensi seperti ini? Sangat sulit ! Tunggu saja sampai berhenti dengan sendirinya !" jawabnya tak ramah. "Berapa tensinya sekarang dok? Kemarin 180/110" saya ingin tahu. "Pembuluh darahnya pecah karena hipertensi. Sekarang tensinya 140/90" jawab dokter tanpa memalingkan wajah ke arah saya.

Walaupun sudah 1 jam di rumah sakit, hidung Uwa masih terus memancarkan darah. Karena posisi Uwa benar-benar telentang, darahnya mulai keluar dari mulut dan mengalir ke mana-mana. Sarung kesayangan Dika sudah tidak berwarna lagi, dan berubah menjadi hitam pekat oleh darah. Saya pun membuang sarung itu ke tong sampah. Karena sudah tidak ada lagi kain untuk mengelapnya, saya melepas baju hangat Uwa.

Setengah jam kemudian Uwa sadar. Pertama kali yang ditanyakan Uwa ketika sadar adalah baju hangat kesayangannya. Karena sudah basah kuyup dengan darah yang beraroma anyir, saya pun meminta ijin Uwa untuk membuang menyusul sarung Dika di tong sampah. Dalam keadaan tidak berdaya, Uwa masih saja marah. Supaya tidak terdengar oleh pasien-pasien lain di UGD, saya pun berbisik "Sudah lah, besok saya belikan lagi baju hangat yang kayak gitu empat sekaligus!"

Walaupun Uwa ngedumel nggak karuan, tangan kiri saya masih memegangi tampon, sementara tangan kanan terus mengelap darah Uwa yang "ngacai" dari mulutnya. "Tuhan, mengapa Engkau uji saya seberat ini?" keluh saya.

Ketika mata saya melirik, mendapati bahwa jam di ruang UGD telah menunjukkan pukul 22.00. Saya panik sekali memikirkan anak-anak saya yang belum makan dan berada di rumah tanpa pengawasan orang dewasa. Saya takut anak-anak menyalakan kompor sendiri untuk membuat makanan gara-gara kelaparan. Saya juga kuatir anak-anak lupa mengunci pintu dan jendela. Banyak sekali kekuatiran saya akan keadaan anak-anak di rumah. Terlebih angka kejahatan di Bogor cukup tinggi.

Saat juru rawat melintas di dekat saya, saya pun meminta bantuan untuk mengurus Uwa karena saya akan menelpon ke rumah. Saya segera lari ke luar. Sebelum menelpon anak-anak, saya berusaha meminta kesabaran tukang ojek untuk tetap menemani saya. Tukang ojek itu pun tampaknya mengerti kekalutan saya. Sambil membersihkan sisa-sisa darah yang mengering di baju, saya mencoba menelpon ke rumah. Lama sekali telepon tidak diangkat. Rasanya ingin sekali saya terbang ke rumah supaya tahu apa yang terjadi.

Kurang lebih satu menit telepon di rumah baru diangkat. "Halo, ibu ya? Ibu kok nggak pulang-pulang...cari duit sampai malam ya?!" tanya Mika yang merasa yakin kalau yang menelpon itu saya. Tanpa menjawab pertanyaan Mika, saya langsung memberi instruksi kepada Mika "Dik, tolong teleponnya kasih Mas Dika!" Dengan setengah cedal Mika menjawab "Mas Dika udah tidul" "Bangunkan Mas Dika, bilang ada telepon dari ibu!" perintah saya kepada Mika yang umurnya baru 3 tahun."Ya, ya, ya.dadah ibu!" jawab Mika langsung menutup telepon.

Saya kembali mencoba menelpon berkali-kali, tapi tidak ada yang mengakat. Saya menduga Mika sedang berusaha membangunkan Dika yang memang agak susah dibangunkan. Kira-kira 3 menit saya mencoba menelepon, akhirnya Dika pun mengangkat telepon. "Ibu kok lama sekali sih? Dika sama adik sudah kepalaran, tapi ibu nggak pulang-pulang. Tadi waktu ibu pergi adik nangis terus, sampai muntah. Dika repot banget nich ngurusin adik. Ibu sekarang dimana sih?" tanya Dika dengan nada kesal. "Dika, ibu masih di rumah sakit. Sekarang pintu dan jendelanyadi.....(tit!)" belum sempat memberikan pesan, telepon saya mati karena baterainya habis.

Melihat saya mondar-mandir mencari telepon umum, tukang ojek itu meminjamkan ponselnya kepada saya. Begitu telepon tersambung, tanpa membuang waktu saya berpesan "Dika, makan seadanya dulu. Semua pintu dan jendela..(tit)!" ponsel si tukang ojek itu pun nasibnya sama dengan ponsel saya. Saat itu saya benar-benar tidak bisa menahan tangis. Saya benar-benar mengkuatirkan keadaan anak-anak di rumah. Saya ingin sekali untuk segera pulang ke rumah, tetapi dokter belum mengijinkan saya pergi.

Ketika saya masuk ke UGD lagi, darah Uwa sudah tidak terlalu deras. Jururawat menyuntikkan beberapa macam obat melalui selang infuse. Uwa juga sudahbisa memegangi sendiri tampon di hidungnya. Beberapa menit kemudian saya dipanggil oleh kasir untuk membayar biaya tindakan dan obat-obatan. Karena saya tidak membawa uang tunai, saya meminta tukang ojek untuk menunggui Uwa,sementara saya mengambil uang di ATM.

Malam itu saya berjalan keluar dari komplek RS sambil menangis. Saya menangis untuk banyak hal. Selain mengkuatirkan keadaan anak-anak di rumah, juga mengkuatirkan keadaan Uwa di rumah sakit. Ditambah lagi, saya yang terbiasa mengelola gaji dengan perencanaan yang ketat, rasanya cukup dipusingkan dengan pengeluaran besar yang tidak ada dalam rencana ERT (Ekonomi Rumah Tangga) saya. Kalau saya mengambil uang gaji di ATM BNI, pasti kehidupan kami selama sebulan serta tagihan rumah, telepon, listrik, asuransi pendidikan dan tabungan kesehatan anak-anak pasti kacau balau. Kalau saya mengambil tabungan pendidikan di ATM Lippo, saya kuatir proses kelanjutan sekolah Dika ke SMP terganggu. Akhirnya malam itu saya putuskan menguras semua tabungan kesehatan anak-anak dari ATM BCA. Saya pun naik becak menembus gelapnya malam kota Bogor menuju ATM BCA yang jaraknya kurang lebih 500 meter dari RS.

Setelah saya menyelesaikan pembayaran di kasir, juru rawat memanggil saya untuk mendatangani persetujuan rawat inap untuk Uwa. Karena juru rawat itu tahu kalau Uwa adalah pembantu saya, ia pun menyarankan saya untuk memilih kamar kelas 3 saja. Saya pun tidak mampu berpikir lagi kecuali mengiyakannya dan berbisik "Tolong ya Mas, usahakan semua urusan malam ini cepat selesai, karena saya harus segera pulang. Anak-anak saya yang masih kecil, sekarang ini di rumah sendirian". "Ibu telpon tetangga dulu untuk minta tolong mereka menjaga anak-anak ibu" juru rawat yang ramah itu menyarankan. "Boro-boro nelpon tetangga Mas, mau nelpon anak sendiri saja tidak bisa karena baterainya habis" jawab saya masih tegang.

Supaya cepat selesai, saya membantu juru rawat itu membawa berkas status pasien dan mendorong kereta dorong ke kamar perawatan di kelas 3, sementara juru rawat menarik kereta itu. Saya kaget ketika tiba-tiba juru rawat menarik kereta pasien masuk ke ruang isolasi. Saya pun deg-degan dan dengan reflek bertanya "Lho, lho, lho! Mas, memangnya penyakit ini menular, kok sampai harus diisolasi?" "Bukan karena menular Bu, tapi kalau pasien ini dicampur dengan pasien lain, dikuatirkan yang lain pada takut atau jijik" jawab juru rawat itu." "Tapi kan kasihan Mas, ibu ini sudah tua sekali dan tidak ada yang menjaga. Kalau nanti terjadi sesuatu dan tidak ada orang yang melihatnya, bagaimana?" tanya saya sambil meminta belas kasihan.

Uwa yang sudah dibaringkan di ruang isolasi kembali kami angkat ke kereta dorong untuk dipindahkan ke barak RPU supaya bisa sekamar bersama belasan pasien lain. Ketika Uwa sudah berada di barak pasien, saya pun berpamitan kepada juru rawat sambil menitipkan Uwa. Tiga juru rawat yang bertugas malam itu dengan kompak memarahi saya. Saya pun berusaha merendah dan memohon pengertian para perawat itu. "Maaf Suster, saya tidak mungkin menungguinya di rumah sakit. Saya juga butuh ganti baju dan mengambilkan baju ganti untuk pasien!" saya memberikan alasan. "Gila ! Ibu ini nggak punya otak, kali ya? Masak tega meninggalkan ibunya yang sudah berumur 67 tahun sendirian di rumah sakit" kata salah satu jururawat.

Sebenarnya saya ingin menjawab "Justru karena saya punya otak, saya harus pulang untuk mengurus anak-anak saya" Namun karena saya tidak ingin berdebat, sayapun menjawab dengan halus "Maaf Suster, saat ini anak-anaksaya di rumah tidak ada yang menjaga. Saya meninggalkan anak yang berumur 3 tahun hanya bersama kakaknya yang masih kecil juga! Tolonglah Bu, mohon pengertiannya. Saya akan bertanggung jawab semua biaya pengobatan untuk pasien, tapi saya tidak mungkin ditahan disini. Besok pagi sebelum saya berangkat kerja, saya akan ke sini mengantar baju ganti untuk pasien"

"Memangnya suami ibu kemana? Ibu nggak punya suami ya?" tanya seorang perawat ketus. Ingin sekali saya menjawab "It is not your business!". Namun belum sempat saya menjawab, seorang perawat dengan sinis berkata "Kalau ibu nggak mau mengurus sendiri, sebaiknya pindahkan pasien ke ruang VVIP yang mahal, jangan cuma di kelas 3 yang murah-murah seperti ini dong!"

Sedetik kemudian perawat dari UGD itu mengedip-ngedipkan matanya memberi isyarat kepada saya. Saya menterjemahkan isyarat tersebut dengan "uang". Tanpa menunggu lagi, saya pun menarik beberapa lembar uang lima puluh ribuan dari dompet. Juru rawat UGD itupun menganggukkan kepala tanda setuju. Tanpa banyak bicara, saya pun meletakkan beberapa lembar uang itu di meja yang ada di depan ketiga perawat yang beramai-ramai "mengadili saya".

"Ibu, bukan kami tidak mau mengurus pasien Bu, tapi kalau tidak ada keluarga yang menunggu, siapa yang harus bertanggung jawab kalau pasien meninggal?" kata seorang perawat yang mulai lembut.
"Ya, kalau memang Tuhan menghendaki pasien itu meninggal, kita mau apalagi?" jawab saya pelan.
"Benar nich, kalau ada apa-apa sehingga pasien meninggal, Ibu tidak menyalahkan atau menuntut kami?" tanya perawat yang lain tak kalah lembutnya.
"Kalau Tuhan yang memanggil, kenapa saya harus protes?!" jawab saya pelan "Malam ini saya mohon bantuan Suster di sini, karena saya harus pulang. Besok pagi saya akan ke sini membawakan baju-baju yang bersih untuk pasien. Kalau malam ini ada apa-apa atau butuh sesuatu, Suster bisa menelpon saya kapan saja" saya menjamin. "Jadi, kalau nanti kami telpon malam-malam, ibu tetap bersedia datang ke mari khan?!" tanya perawat lainnya dengan sopan. "Saya janji Suster! Paling tidak, kalau saya sudah sampai di rumah, saya bisa menitipkan anak-anak dulu ke tetangga" jawab saya pelan.

Sebelum saya meninggalkan RS, suster di kamar perawatan meminta saya untuk menebus obat yang harganya hampir satu juta rupiah. Saya pun kembali mengeluarkan uang lebih dari yang seharusnya dan menyerahkan kepada perawat yang mau membantu saya membelikan obat untuk Uwa di apotik. Saya melakukan hal itu karena bagi saya waktu sangat penting untuk segera tahu keadaan anak-anak.

Akhirnya jam 22.30 saya bisa meninggalkan rumah sakit. Saya pun bersama tukang ojek segera naik angkot menuju klinik 24 jam dimana motor milik tukang ojek itu dititipkan. Dari klinik 24 jam itu saya diantar ke rumah oleh tukang ojek.

Betapa kagetnya saya ketika saya mendapati pintu pagar dan pintu rumah terbuka lebar. Saya minta tolong tukang ojek untuk menemani saya sampai diteras. Jantung saya berdebar-debar ketika tak satupun anak saya yang menyahut panggilan saya. Saya hampir berteriak ketika mendapati Mika yang tertidur di karpet tak jauh dari muntahannya. Dika sendiri tertidur dilantai. Ketika saya yakin tidak terjadi sesuatu pada anak-anak saya, sayapun memberikan uang kepada tukang ojek sebagai ganti penghasilannya malam itu.Sambil memanasi air untuk mandi, saya mengelap muka dan kaki anak-anak dan memindahkan mereka ke kamar masing-masing. Melihat wajah anak-anak yang tidak berdaya, saya merasa sangat bersalah karena telah menelantarkan mereka. Saya pikir kalau sampai terjadi sesuatu pada mereka, saya tidak bisa mengampuni saya sendiri. Malam itu saya menangis, menyesali diri karena tidak bisa menjaga mereka dengan baik. Terlebih lagi ketika melihat sisa mie instant yang Dika rebus tidak sempurna dengan rantang, hati saya sangat miris membayangkan betapa mereka sangat kelaparan menunggu saya yang tidak segera pulang malam itu.

Ketika air sudah panas, saya pun membuka baju untuk mandi. Saya kaget sekali ternyata baju yang saya kenakan malam itu adalah baju putih terbaru yang saya beli dengan harga cukup mahal. Saya pun harus merelakan baju kesayangan yang baru dua kali saya pakai itu tidak seputih dulu lagi. Saya yang biasanya merawat dan mencuci baju kesayangan dengan tangan saya sendiri, mau tidak mau harus merelakan baju tersebut di cuci oleh pembantu/tukang cuci karena saya tidak tahan dengan bau anyir yang menyengat.

Sampai tengah malam saya tidak bisa tidur. Di satu sisi saya masih terus merasa bersalah karena telah menelantarkan anak-anak. Di sisi lain saya juga menyesal karena saya merasa tidak bisa memperlakukan Uwa dengan kasih. Saya sangat menyesal karena selama menyangga tubuh Uwa di angkot, hati saya tidak merelakan 100% Uwa bersandar di dada saya. Selama di angkot saya masih merasa jijik dan bersikap seperti robot yang harus menjalankan tugas kemanusiaan. Apa yang saya lakukan terhadap Uwa sesungguhnya bukan kasih yang keluar dari hati yang paling dalam. Saya hanya memperlalukan Uwa masih sebatas memperlakukannya sebagai pembantu, bukan selayaknya saya melayani Tuhan.

Saya menangis karena kuatir kalau-kalau Uwa meninggal dan saya belum sempat menebus kesalahan dengan memperlakukannya seperti yang Tuhan Yesus kehendaki. Di tengah-tengah kegalauan hati saya, tiba-tiba telepon berdering. Badan saya lemas sekali. Sebelum sampai di meja telepon, saya terjatuh. Tangis saya kontan meledak "Tuhan Yesus, tolong saya ! Jangan panggil Uwa sekarang karena saya belum memperlakukannya seperti yang Engkau kehendaki !" teriak saya yang yakin bahwa telepon itu dari RS.

"Hallo" kata saya sambil menangis. "Jangan nangis, besok pagi bapak berangkat ke Bogor. Tolong kamu cari orang yang bisa dibayar untuk mengurus Uwa karena tidak ada satu pun anaknya yang mau mengurus Uwa" kata bapak saya. "Iya, ya, ya ! Bapak cepat ke sini ya, anak-anak terlantar nich" kata saya gugup karena saking takutnya.

Semalaman saya tidak bisa tidur karena bingung membagi waktu untuk esok paginya. Saya juga bingung karena esoknya saya harus menyelesaikan bahan presentasi yang akan dibawa boss ke luar negeri. Saya juga bingung bagaimana harus menjaga Mika sampai pembantu yang satunya datang jam 12.00, sedangkan Uwa memerlukan baju bersih dan selimut secepatnya. Malam itu saya benar-benar kalut dan menangis di depan komputer sambil curhat dan minta dukungan doa dari beberapa teman milis. Sebelum mematikan komputer, saya pun berdoa "Tuhan Yesus, ampuni kesalahan saya hari ini. Saya tidak tahu berapa lama lagi Engkau uji saya, tapi saya percaya Engkau sendiri yang akan memampukan saya melewati ujian-ujian itu"

-bersambung-

Senin, Mei 30, 2005

"Mengasihi Hingga Sakit, Memberi Hingga Tak Tersisa"

catatan gue : Sharing ini gue dapet dari salah satu milis : Komunitas Penjunan yg g ikutin, ditulis oleh Mundhi Sabda Lesminingtyas (mbak Ning), seorang penulis yg juga bekerja di sebuah lembaga yang membela dan memperjuangkan hak-hak anak (tulisannya pernah beredar luas dikalangan miliser dalam rangka hari Anak Nasional). Blio jg penulis buku "TANGAN YANG MENENUN" yang mengisahkan perjuangan orang tua tunggal dalam mengajar anak tentang kasih dan takut akan Tuhan.Tulisan blio amat menggugah hati g krn saat ini juga g berada dalam sikon yg meskipun ngga sama persis tp ada mirip2nyalahh...ketika g belajar memberi sambil sekaligus meluruhkan segala keegoan g yg ternyata lebih gampang diucapin drpd dijalani...,ketika g dalam hati dpt katakan tanpa nolongin dia pun hidup g teteub bakal baek-baek aja....Kiranya sharing ini jg menjadi berkat sekaligus inspirasi buat yg kebetulan nengokin rumah g ini...happy reading...Image hosted by Photobucket.com

Mengasihi Hingga Sakit, Memberi Hingga Tak Tersisa - 1

Oleh : Lesminingtyas*

Beberapa minggu yang lalu hidup saya dibuat pontang-panting oleh Uwa; pembantu yang mengasuh si bungsu Mika. Nenek tua itu kembali sakit. Saya pun membawa Uwa ke dokter praktek yang berjarak kurang lebih 50 meter dari rumah. Menurut dokter, tekanan darah Uwa cukup tinggi, yaitu 180/110. Namun saya cukup tenang karena dokter berjanji akan memberikan obat penurun tekanan darah.

Sehari setelah berobat ke dokter, kondisi Uwa justru semakin memburuk. Sorenya, sepulang saya dari kantor, Uwa mengeluh pusing. Saya pun segera memapahnya untuk kembali ke dokter. Belum juga keluar pintu rumah, hidung Uwa mengeluarkan darah segar. Saya pun tetap memapah Uwa menuju tempat praktek dokter. Walaupun tempat praktek dokter tidak terlalu jauh, namun badan Uwa yang lebih tinggi dan lebih besar yang menyandar tak seimbang kebadan saya, membuat langkah kaki saya terseok-seok.

"Ternyata memang sangat berat jika 'pasak' lebih besar dari pada tiang" pikir saya dalam hati. Sebagian berat badan Uwa yang ditimpakan ke pundak kiri saya, membuat tangan kiri serasa lumpuh. Sampai-sampai pundak dan dada kiri saya dibanjiri darah segar pun, saya tidak merasakan apa-apa lagi. Hanya bau anyir yang menyengat yang membuat saya tidak nyaman. Sebenarnya saya sangat jijik dengan darah, tetapi malam itu tidak ada pilihan lain.

Saya mulai cemas ketika ruang praktek dokter itu gelap gulita. Dari papan nama dokter saya tahu bahwa praktek tersebut baru dibuka jam 20.00. Melihat darah yang mengucur deras dan kondisi badan Uwa yang sangat lemah, saya tidak yakin Uwa bisa bertahan kalau harus menunggu 2 jam lagi. Dengan tertatih-tatih, saya memapah Uwa kembali ke rumah dan mendudukkannya dikursi teras.

Untuk memberikan pertolongan pertama, saya mencoba menundukkan kepala Uwa dan menyiramnya dengan air kran. Seperti biasa, Uwa marah-marah karena kedinginan. Saya pun mencoba dengan cara lain. Pontang-panting, saya berlarike sana ke mari bak orang kesurupan untuk mencari daun sirih. Sayang sekali tak seorang tetanggapun yang menanam sirih. Tidak ada cara lain, kecuali membawa Uwa ke klinik. Namun untuk meminta bantuan tetangga rasanya tidak mungkin karena semua warga sedang menjalankan sholat maghrib.

Karena darah Uwa terus membanjiri teras, tidak ada pilihan lain selain lari ke perempatan jalan untuk memanggil ojek. Saya mencarter 2 ojek untuk membawa Uwa ke klinik 24 jam. Karena darah Uwa masih terus mengalir, tukang ojek meminta kain untuk menutup hidung Uwa. Tanpa pikir panjang, Dika langsung memberikan sarung kesayangannya.

Karena klinik 24 jam hanya berjarak kurang lebih 2 km, saya tidak menitipkan anak-anak kepada tetangga. Saya pikir Dika sudah cukup besar untuk menjaga adiknya barang 15-30 menit. Saya hanya berpesan kepada Dika untuk menemani adiknya dengan tenang selama saya pergi. Saya berjanji kepada anak-anak untuk segera pulang sambil membawa lauk untuk makan malam.Dokter di klinik 24 jam itu sangat sigap. Dalam hitungan detik, sarung tangan telah membalut kedua tangannya. Dokter itu siap memasukkan tampon kelubang hidung Uwa. Wajah dokter itu mulai tegang ketika satu tampon yang dimasukkannya langsung terdorong keluar oleh derasnya darah dari hidung Uwa. Dua tampon dicoba dimasukkan ke satu lubang hidung Uwa sekaligus, tapi masih mental juga. Tidak sampai 5 menit memberikan pertolongan, dokter itupun menyerah dan meminta saya untuk segera membawa Uwa ke rumah sakit besar.

Saya bingung sekaligus panik karena tidak ada satu orang dewasa pun di rumah yang menjaga anak-anak. Saya juga bingung dan merasa tidak mampu untuk membawa Uwa sendirian ke rumah sakit. Karena tukang ojek yang saya carter masih ada di situ, saya pun meminta salah satunya untuk menemani saya kerumah sakit besar. Saya dan dokter memapah Uwa ke pinggir jalan, sementara tukang ojek mencari angkot untuk dicarter ke rumah sakit. Karena saya tidak enak hati mengotori baju dokter saya menyangga seluruh berat badan Uwa yang sudah mulai lemas itu dengan bahu saya. Darah Uwa pun mulai mengalir sampai ke pakaian dalam saya. Jijik sekali rasanya.

Kira-kira 5 menit, tukang ojek itu kembali dengan angkot kosong yang siap mengantar kami ke rumah sakit. Dokter yang tidak mau saya bayar itu pun membantu saya mengangkat Uwa masuk ke dalam angkot.

Selama di perjalanan saya dan tukang ojek yang sebelumnya tidak saya kenal itu mengapit Uwa. Ketika sopir angkot menanyakan rumah sakit mana yang akan kami tuju, saya tidak segera menjawab. Sebaliknya, saya meminta pendapat sopir angkot dan tukang ojek untuk memilih rumah sakit. Sebenarnya rumah sakit langganan keluarga saya tidak terlalu jauh dari rumah, tetapi tarifnya tergolong mahal.

Sambil membiarkan keduanya berdiskusi, saya menelpon dan mengirim SMS ke semua kakak dan orang tua saya. Saya berharap mereka memberikan komitmen untuk membantu biaya, sehingga saya bisa memilih rumah sakit yang terdekat. Namun, hingga rumah sakit langganan saya terlewati, tidak ada seorang kakakpun yang menyatakan kesanggupanya untuk membantu pembiayaan Uwa.

Tangan kanan saya masih terus menyangga Uwa sedangkan tangan kiri sibuk mengirim SMS untuk mengabari anak-anak Uwa dan memintanya datang ke Bogor. Saya berharap setelah masuk rumah sakit, perawatan Uwa sudah menjadi tanggung jawab dokter dan anak-anaknya, sehingga saya tinggal memikirkan biayanya saja. Namun saya harus puas dengan jawaban anak-anak Uwa yang tidak bersedia datang dan menimpakan tanggung jawab seluruhnya kepada saya.

Saya berhenti memainkan ponsel ketika tukang ojek itu meminta saya memilih 2 alternatif rumah sakit pemerintah yang ditawarkannya. Rumah sakit pertama memang cukup murah, tetapi letaknya agak menjorok ke dalam sehingga untuk menengoknya saya harus berjalan kaki agak jauh. Supaya saya bisa menengok Uwa sepulang dari kantor, saya pun memilih rumah sakit kedua yang lebih mahal sedikit tetapi terletak persis di pinggir jalan. Walaupun saya sudah memutuskan rumah sakit yang akan kami tuju, tetapi perjalanan tidak bisa dipacu karena malam itu angkot masih memadati jalanan hingga kota kami layak disebut sebagai "kota angkot" . Saya mulai panik ketika nafas Uwa mulai tersendat-sendat. Saya kuatir kalau-kalau Uwa menghembuskan nafas di dalam angkot. Sambil tangan kiri menyangga kain sarung untuk menadahi darah Uwa yang terus mengalir, tangan kanan tetap menahan badan Uwa.

Rasa dan bau badan saya sudah tak karuan. Saya yang sore itu belum sempat mandi dan masih mengenakan baju kerja, benar-benar harus bermandi darah. Bau anyir dan rasa jijik mulai merata di sekujur tubuh saya. Melihat Uwa terkulai lemas, saya pun semakin panik. Jantung saya bergerak lima kali lebih cepat karena rasa takut yang amat sangat. Saya mencoba kembali mengambil ponsel dari saku celana saya yang sudah mulai basah oleh darah. "Pak, tolong cepat datang. Uwa kayaknya sudah nggak kuat !" saya menelpon bapak saya setengah merengek.

Ayah saya pun menjawab, "Mintalah pertolongan Tuhan! Bapak akan segera berangkat ke Bogor" bapak mencoba menenangkan saya. Bapak yang tahu betul bahwa saya tidak tahan mengahadapi orang mati, tidak mungkin tega membiarkan saya menghadapi Uwa sendirian. Saya mencoba berdoa sambil berharap bapak akan datang secepatnya "Tuhan, sekiranya Engkau ingin memanggil Uwa, panggilah! Tapi kalau masih boleh menawar, tolong terlebih dulu kirimkan satu saja penolong untuk saya !"

Melihat kondisi Uwa yang terus melemah dan jalanan yang masih macet,berkali-kali saya berbisik di telinganya "Uwa, minta kekuatan dari Tuhan Yesus, ya!" Kalau Uwa diam saja, tak bosan-bosan saya membisikinya berulang-ulang hingga Uwa menganggukkan kepala sambil mulutnya lirih menyebut nama Tuhan Yesus.

Begitu angkot yang kami tumpangi masuk ke halaman RS, tukang ojek itu meminta saya mendaftar ke UGD. Saya pun mengiyakannya dan langsung meloncat ke luar dan berlari menuju bagian pendaftaran UGD. Tukang ojek bersama sopir angkot mengangkat Uwa masuk UGD.

Sementara Uwa ditangani dokter dan juru rawat di UGD, saya membayar sewa angkot dan meminta tukang ojek untuk tetap tinggal menemani saya. Satu hal yang ada dalam pikiran saya, kalaupun Uwa meninggal, masih ada tukang ojek yang menemani saya mengurus jenazahnya.

Dalam keadaan panik, saya sempat kena marah petugas administrasi karena waktu ditanya umur dan nama suami Uwa, saya tidak tahu. Dengan sok kuasa ia menakut-nakuti saya "Kalau tidak ada suaminya, kita tidak bisa menolongnya?" "Maaf Bu, sejak kecil saya tidak tahu siapa suaminya. Memangnya kenapa harus ditanyakan suaminya?" tanya saya tak mengerti. "Kalau tidak ada suaminya, siapa yang akan bertanggung jawab?" katanya ketus. "O..jadi yang dibutuhkan bukan suaminya, tapi orang yang bertanggung jawab khan? Kalau cuma itu, saya akan berusaha untuk bertanggung jawab" jawab saya merendah.

Mungkin karena melihat saya yang hanya mengenakan sandal jepit dan celana panjang yang kelupaan masih saya gulung mirip orang kebanjiran, petugas administrasi itu mulai meragukan saya. Terlebih badan dan pakaian saya yang tak layak dan menebar aroma tak sedap. "Nih lihat, harus mbayar segini ! Apakah Teteh sanggup?" tanyanya ragu. Petugas itu semakin ragu ketika melihat dompet yang sudah saya kuras hingga ke receh-recehnya, tetap belum memenuhi sejumlah uang yang diminta. Saya minta ijin keluar sebentar untuk meminjam uang kepada tukang ojek itu. Akhirnya saya pun bisa memenuhi uang yang diminta itu setelah tukang ojek bersedia menguras seluruh isi dompetnya.

-bersambung-

Minggu, April 10, 2005

WHO WANTS BE A MILLIONAIRE

Ada yg suka nonton acara ini?
sebenernya udah beberapa kali g ga ngikutin, salah satu sebabnya RCTI dirumah g bener2 burem, kaga bisa ditonton sejak rumah belakang meninggikan atapnya hiks...tp kemarin malam kebetulan sepupu g iseng2 benerin antena shg sedikit banyak g bisa nongkrongin RCTI, meskipun kualitasnya msh menyedihkan hiks...yg jelas, bisalah didengerin suara dan diliat gambarnya...
nah tayangan kali ini menampilkan AGUS MISYANTO (smoga ngga salah denger....Image hosted by Photobucket.com) dan tayangan kali ini menampilkan episode ke-2 cek 500juta bisa diraih, setelah sekian bulan silam seorang cewe berhasil menyelesaikan hingga 500juta jg....
yang bikin banyak orang terkagum2 ampe ngasih standing applause, salah duanya adalah : dia berpendidikan STM dan pekerjaan sehari2 adl loper koran dari jam 3sore sampe jam 7pagi........!! Sungguh suatu prestasi yg mencengangkan, ampe Tantowi berkomentar : jgn liat buku dari covernya...
Termasuk g salut ama keberanian anak ini, seorang yg masih muda dan ketika memberi jawaban terkesan santaaaiiii...sekaleee....
Tinggal selangkah lagi dia menyelesaikan pertanyaan terakhir, tp untungnya sekalipun dia terjebak dg pertanyaan terakhir, dia nge-pass, shg dia ngga kehilangan 400jt lebih gara2 kenekadan dia...bedanya ama cewe yg dulu, pertanyaan terakhir yg dia pas sebenernya jawabannya betul, sedangkan Agus ini menge-pass utk jawaban yang salah....untung...banget..!!
Tp bagaimana pun g tetep salut, dikursi penonton ibunya menangis tersedu2, mungkin antara gembira dan bersyukur...dg uang segitu, dg penggunaan yg bijaksana dpt digunakan utk modal usaha dia. Kemungkinan yg laen adl setelah tayangan itu ada banyak orang yg menawari pekerjaan...semoga sukses Agus !!

Selasa, April 05, 2005

SELAMAT JALAN PAUS YOHANES PAULUS II

Mungkin tidak ada satupun umat Katholik yang terkejut mendengar kabar tentang meninggalnya Paus Paulus Yohanes II pada hari Sabtu, 3 April 2005 pukul 21.37 waktu Vatikan (Minggu, 4 April 2005 pukul 02.37 WIB). Beberapa saat sebelum ia meninggal jutaan umat Katholik dari seluruh penjuru dunia tak henti-hentinya mendoakan sosok yang memiliki nama asli Karol Josef Wojtyla Bahkan pihak Vatikan sendiri sebelumnya telah melaksanakan Sakramen Pengurapan yang khusus diberikan kepada seseorang sebelum ia menghadap Sang Pencipta. Hal ini dilakukan mengingat kondisi Paus yang terus memburuk, terutama setelah ia terkena penyakit Parkinson.

Walaupun demikian kepergian Paus yang menjabat sebagai Paus selama 26 tahun ini tetap saja menimbulkan luka yang mendalam bagi umat manusia, bukan hanya bagi orang Katholik. Setelah mother Teresa yang gencar menyuarakan kemanusiaan melalui perbuatannya pergi, kini dunia kehilangan sesosok pemimpin spiritual yang berani menyuarakan jalan Tuhan sekalipun pemimpin yang lain berlawanan dengan dia. Karena keberaniannya bersuara inilah ia pernah ditembak oleh Mehmet Ali Agca, seorang warga Turki di Lapangan Santo Petrus pada tahun 1981 silam. Walaupun kondisinya waktu itu sudah kritis namun Tuhan masih menginginkan dia untuk menyuarakan kebenaran Allah pada umat manusia. Masih membekas dalam ingatan semua orang bahwa dia adalah Paus pertama yang mengunjungi sinagoge untuk bergaul dengan orang Yahudi. Suatu perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh Paus sebelumnya. Selain itu Paus Yahones Paulus II juga terkenal karena kedekatannya dengan umat Katholik di seluruh penjuru dunia. Sebanyak 129 negara pernah beliau kunjungi (termasuk Indonesia) dalam perjalanannya sebanyak 170 kali. Tidaklah heran jika kemudian majalah Time pada tahun 1994 menobatkan beliau sebagai "Man of the Year".

Keberaniannya untuk menyuarakan kebenaran Allah inilah yang membuat para pemimpin dunia menaruh hormat pada dirinya. Sekalipun mereka tahu bahwa perbuatan mereka tidak disetujui oleh Paus. Kritikan terakhir Paus yang paling keras ialah penolakannya terhadap invansi militer Amerika terhadap Irak. Namun demikian, Presiden Bush selaku orang yang dikritik tetaplah menganggap Paus sebagai "Inspirasi Bagi Jutaan Warga Amerika dan Dunia".

Sebelum meninggal Paus Paulus Yohanes II yang lahir pada tanggal 18 Mei 1920 ini sempat berpesan, "Sampaikan salam terakhir saya kepada generasi muda."

Selamat jalan Karol Josef Wojtyla.....

dikutip dari milis penjunan dan ditulis oleh : Hardhono

Senin, April 04, 2005

THE PASSION OF THE CHRIST

Postingan ini awalnya g tulis sehari setelah g nonton (lagi) film ini, tp berhubung waktu dipublish tau2 error n g males nulis plus edit2 lagi ya sutralaaahhh....akhirnya g tetep masukin ke blog g ini (diambil dari salah satu milis, yg g rasa tulisannya cukup obyektif sbg seorang penulis Image hosted by Photobucket.com)

Tadi malam (25 Maret 2005) di TransTV diputar kembali film The Passion Of The Christ. Walau dahulu saya pernah menonton film ini, tetapi rasanya tetap miris menyaksikan adegan demi adegan kekerasan ditampilkan. Kejam sekali, sadis sekali. Tak heran, bila banyak orang yang mengkritik film ini karena kekejaman yang ditampilkannya, serta banyak hal yang tidak tercantum dalam Injil karena memang sebagian naskahnya bersumber dari penglihatan Anne Catherine Emerich. Tambahan pula, berbagai aspek dalam film ini 'disesuaikan' dengan tradisi Katolik serta relikui suci seperti kerudung yang dipakai menyeka wajah Kristus.

Nah, apakah dengan segala kritik ini, lantas kita bisa mengatakan bahwa film ini sama sekali tidak layak ditonton, sebuah pengungkapan yang keliru? Mari kita renungkan.

Satu hal yang pertama-tama saya catat adalah: tidak ada ungkapan dari sutradara dan produser film ini (Mel Gibson) bahwa ia sedang menyusun sebuah ajaran atau pengungkapan Injil baru. Ia membuat film, sebagaimana film lain dibuat. Artinya, kita pun harus memandangnya dengan cara yang sama: kita sedang menonton sebuah film, sebagaimana menonton film lain. Sedekat-dekatnya film ini dengan pengungkapan Alkitab, kita tidak dapat mensejajarkan film ini dengan Injil karena memang pembuatnya pun tidak bermaksud begitu

Bila kita pernah terlibat dalam seni drama atau teater, tentu tahu bagaimana ada masalah dalam menginterpretasikan naskah menjadi adegan. Seorang pembuat film mau tidak mau harus mengumpulkan berbagai sumber yang mungkin untuk memvisualkan kata-kata dalam naskah asli, serta menyusun plot demi plot sedemikian rupa agar seluruh film menjadi rangkaian yang bisa dipahami oleh penontonnya. Demikianlah Mel Gibson melakukan risettentang peristiwa penyaliban Kristus, dan tentu saja ia juga mengambil bahan dari luar Injil.

Bisa dibilang, dari screen pertama sudah ada adegan dari luar Injil, yang menggambarkan setiap gerak dan kata-kata yang diucapkan. Kita sebenarnya harus kagum, karena Gibson memakai bahasa Aram dan Latin (bahasa yang dipakai dalam kehidupan Yesus) dalam film ini. Bisakah dibayangkan seperti apa kesulitan para pemeran film The Passion ini? Dan tentu saja, sebagian besar kata-kata yang diucapkan bukan berasal dari Injil (dan jangan lupa:Injil ditulis dalam bahasa Yunani koine). Begitulah bila kita memfokuskan pada segala hal 'diluar Injil' yang ada di film ini.

Tetapi, ketika saya memfokuskan pada berita Injil, saya menemukan bahwa bagian besar dari Injil ditampilkan dengan cermat. Saya menemukan juga bahwa bagian-bagian penting dari Injil juga ditampilkan, walau dalam bentuk kilas balik dari ingatan Yesus, Maria, dan murid-murid (tapi, tentu saja kilas balik itu tidak ada disebut dalam Injil). Dan saya menemukan bahwa makna terpenting yang disampaikan oleh film ini masih setia kepada Injil tentang penderitaan (The Passion) Kristus.

Mungkin ada pula yang protes, mengapa film ini hanya menampilkan bagian penderitaan Kristus? Saya rasa, memang ini maksud pembuatnya. Bukankah judulnya adalah "The Passion of The Christ"? Sah-sah saja kalau isinya tentang penderitaan Kristus, itu pun sudah menjadi film yang panjangnya 2,5 jam.

Sekarang, mengapa sedemikian sadisnya? Pengkritik mengatakan, betapa sadis dan sadisnya film ini. Banyak orang yang tidak tahan menontonnya, adegan sadis di dalamnya membuat perut menjadi mual...sama sekali tidak membawa damai sejahtera. Tak sedikit pula yang muntah, saking tidak tahannya. Beginikah sebuah film yang dipuji oleh Billy Graham? Tidakkah seharusnya film ini dibuat lebih 'santun' dan tidak perlu mengumbar darah dimana-mana, sesuai dengan etika Kristen?

Awalnya, memang saya setuju dengan protes ini. Terus terang, saya sendiri juga merasa beraaaat sekali menontonnya. Namun ketika saya menemukan pendapat seorang ahli medis dalam bukunya Lee Strobel "The Case for Christ", juga membaca ulasan seorang teman dokter yang sama-sama kuliah teologia, saya mulai meragukan pendapat saya sendiri. Mungkin, justru saya yang keliru. Mungkin, justru Mel Gibson telah menampilkan adegan yang paling menyerupai kenyataannya, yang memang kesadisannya mengerikan.

Dan setelah saya mempelajari kembali berita Injil, hanya kesadisan itu yang 'pas' dengan pengungkapan Injil. Kita mungkin tidak menyukainya, kita mungkin lebih senang dengan berita atau penggambaran yang lebih lunak,tetapi Injil bicara dengan kekerasan yang sama dalam kalimat-kalimat yang pendek tetapi tajam. Cobalah memaknai ayat-ayat ini:

Mat 27:26 Lalu ia membebaskan Barabas bagi mereka, tetapi Yesus disesahnya lalu diserahkannya untuk disalibkan.
Mat 27:29 Mereka menganyam sebuah mahkota duri dan menaruhnya di ataskepala-Nya, lalu memberikan Dia sebatang buluh di tangan kanan-Nya. Kemudian mereka berlutut di hadapan-Nya dan mengolok-olokkan Dia, katanya: "Salam, hai Raja orang Yahudi!"
Mat 27:30 Mereka meludahi-Nya dan mengambil buluh itu dan memukulkannya ke kepala-Nya.
Mar 15:19 Mereka memukul kepala-Nya dengan buluh, dan meludahi-Nya danberlutut menyembah-Nya.
Luk 22:63 Dan orang-orang yang menahan Yesus, mengolok-olokkan Dia dan memukuli-Nya.
Luk 22:64 Mereka menutupi muka-Nya dan bertanya: "Cobalah katakan siapakah yang memukul Engkau?"
Luk 23:25 Dan ia melepaskan orang yang dimasukkan ke dalam penjara karena pemberontakan dan pembunuhan itu sesuai dengan tuntutan mereka, tetapiYesus diserahkannya kepada mereka untuk diperlakukan semau-maunya.
Joh 19:1 Lalu Pilatus mengambil Yesus dan menyuruh orang menyesah Dia.

Bisakah kita membayangkannya? Apakah kita hanya bersedia melihat seorang yang dipukul sekali atau dua kali, lalu dibebaskan?

Penelitian sejarah menunjukkan seperti apa kejamnya orang Romawi ketika mereka menyesah korbannya. Alat mereka adalah cambuk dengan kaitan besi dan diganduli bola-bola besi, yang akan merobek dan menghancurkan kulit yang dicambuk. Apakah kita hanya mau melihat Tuhan Yesus yang badannya 'bersih' dan tidak banyak mengeluarkan darah? Dan ketika mereka menancapkan mahkota duri di kepala-Nya, apakah kita ingin duri-duri pada mahkota itu tumpul?

Tidak, mahkota itu mempunyai duri yang runcing dan tajam. Dan bukan saja dikenakan, tetapi juga mereka memukul kepala-Nya dengan buluh (Mat 27:30). Sadis sekali! Apakah kita tahan melihatnya? Film ini menunjukkan adegan pemukulan itu...dan seberapa pun kita tidak suka, inilah yang dialami oleh Kristus. Dia mengalami penderitaan yang hebat, sehingga ketika tibasaat-Nya, Ia lebih dahulu mati. Orang lain yang disalib biasanya dipatahkan kakinya agar cepat mati (karena waktu itu sudah dekat perayaan Paskah), tapi mereka tidak perlu mematahkan tulang-Nya karena Yesus sudah mati lebih dahulu. Penderitaan-Nya terlalu hebat, tubuh-Nya tidak kuat lagi.

Sadis? Ya. Salah? Tidak. Demikianlah dosa-dosa kita mendatangkan kesadisan, bahkan terus terjadi hingga hari ini. Bagi anak-anak Tuhan,akan terasa keterlaluan. Tetapi bagi anak-anak dunia, kesadisan terhadap Kristus bukan hal aneh. Tak sedikit kekejaman yang lebih sadis lagi dilakukan terhadap sesama manusia. Dan film The Passion ini mengingatkan kesadisan itu, sekaligus menunjukkan bagaimana kasih Kristus MELAMPAUI kesadisan manusia, ketika Ia dengan terbata-bata memohon ampun bagi orang-orang yang menyiksa-Nya.

Saya benar-benar tergugah. Jika seseorang didera sedemikian rupa,bagaimana masih ada pikiran untuk memohon ampun bagi orang yang menderanya? Ketika kesadisan dunia sampai pada puncaknya, sampai pada titik yang membuat muak, justru sikap belas kasih Kristus membuat air mata menetes. The Passion menampilkan kesadisan yang "over the edge" tetapi disaat yang sama juga menampilkan belas kasih Kristus yang luar biasa, dengan berkali-kali close up pada mata yang bengkak tetapi memandang dengan penuh kasih sayang. Di situ tidak ada kebencian, tidak ada dendam,tidak ada kemarahan. Di situ hanya ada ketaatan, kata-kata "hamba-Mu siap!" untuk menahan deraan.

Saya kira, inilah berita terbesarnya: bahwa di balik penderitaan yang luar biasa, ada kasih yang lebih besar lagi. Dan Yesus tidak merintih karena tubuh-Nya yang hancur, melainkan merintih ketika Bapa meninggalkan-Nya. "Eloi, Eloi, lama sabakhtani?"

Satu hal lagi dalam renungan ini: bagaimana dengan pemain-pemainnya? Mereka jelas bukan orang-orang kudus. Ada yang menjadi bintang film porno. Betul! Apakah mereka layak untuk memerankan adegan-adegan di film ini?

Satu adegan yang saya ingat, bagaimana tokoh Maria Magdalena (diperankan Monica Belucci) ingat ketika ia menyentuh kaki Kristus, setelah nyaris dilempari batu karena kedapatan berzinah. Kenyataannya, memang Beluccia dalah aktris yang telah menampilkan ketelanjangan, percabulan. Lantas bagaimana? Apakah kita pun hendak menjadi orang-orang yang siap melemparkan batu melalui kata-kata kita?

Saya memilih untuk tidak menghakimi. Kita hanya bisa berharap, mudah-mudahan Belucci menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya, serta tidak berbuat dosa lagi. Jika wanita ini, dan siapa pun juga, tidak menerima Kristus, ia akan mati dalam dosa-dosanya. Mungkin Belucci bisa memerankan Maria Magdalena dengan baik, namun kita tidak tahu apakah lalu hidup Belucci akan serupa seperti Magdalena.

Bagaimanapun juga, semua pemeran di The Passion, bahkan juga seluruh kru, bukanlah orang-orang yang tidak berdosa. Dan kita pun sebagai penonton, bukan orang-orang yang kudus tanpa dosa. Penghakiman bukan bagian kita,sedangkan kita pun tahu bagaimana Allah bisa memakai siapa saja untuk menyatakan kemuliaan-Nya dan menjalankan rencana-Nya. Bagian kita bukan untuk melemparkan batu kepada pemeran The Passion. Bagian kita adalah untuk mempercayai Kristus dan menerima-Nya sebagai Juruselamat.

The Passion bukan film yang utuh. Pengungkapannya hanya sebagian, belum selesai. Bagi kita ada sambungannya, yaitu berita Injil: Tuhan Yesus telah bangkit dan naik ke Surga. Inilah kemenangan-Nya, dan di dalam kemenangan itu kita bisa bersukacita, bersorak sorai karena Allah. Jika film The Passion diputar pada hari Jumat Agung, itu tepat sekali. Besok (27 Maret2005), kita merayakan Paskah di tempat/Gereja kita masing-masing. Ini adalah sambungan dari film ini, yang melengkapkan seluruh pengungkapan karya Kristus bagi kita. Mari bersorak sorai bagi Dia!

Selamat Paskah! Terpujilah TUHAN!
Salam kasih, Donny (red : penulis)
sementara, g no comment aja deh...krn yg ditulis udah cukup panjang....shallom...Image hosted by Photobucket.com
.

Kamis, Maret 24, 2005

TOLOOOONGG...!!

Ada yg demen acara ini ngga? yg tiap hari ditayangin di SCTV? sbenernya sih g jarang2 banget nonton, cm ngga sengaja pas minggu maren, 20 maret g ngga sengaja ngliat...wah ngliat episode itu sungguh bikin g terharu biru...membuat g berkaca pada diri sendiri, seandainya g yg dimintai tolong apa iya g akan bantu si yudi...sebagai jawaban ideal kita pasti akan katakan : PASTI DONG...tp apa iya sih segampang gitu kita melakukannya?

ini nih kisahnya...

Suatu hari pada suatu ketika...
Yudi : permisi pak, saya mau cari kerja...
satpam : maaf mba, ngga adalowongan...
Yudi : kerja bagian administasi jg boleh
satpam : maaf mba, bener-bener ngga ada...

disuatu tempat laen
Yudi : permisi bu, saya mau cari kerja...
seorang ibu : maaf mba, ngga ada lowongan..
Yudi : ngga ada ya bu, kerja bagian apa juga mau..
ibu yg sama : maaf mba, adanya bagian marketing
Yudi : bagian adm ngga ada bu?
si Ibu : ngga ada mbak..

entah ini penolakan halus ato emang ngga ada lowongan, entahlah..yg jelas krn si Yudi ini cacat kaki, spt polio gitu..
dg dengklang-dengklang, tertatih2 tiap langkah, Yudi kembali menyusuri panasnya jalanan (entah dikota mana), sambil membawa selembar map jambon, entah jg sudah berapa kantor dia masuki, menjajakan tenaganya...

di saat laen..
Yudi : permisi pak/bu, saya mau cari kerja...
Ibu/Bapak pemilik warung : maaf ngga ada lowongan
Yudi : ngga usah dibayar ngga pa-pa pak/bu...asal saya dikasih makan
(glegkhh...hanya dikasih makan? gumam g dalam hati)
si pemilik warung : maaf mba, engga ada lowongan...
Yudi : permisi pak/bu...

sekian jam berjalan..kamera terus mengikuti...entah ini hidden camera ato emang terang2an nge-syut, ngga jelas deh...sampai suatu disuatu tempat..

Yudi : permisi pak, saya mau cari kerja, ngga dibayar ngga pa-pa, asal dikasih makan
si pemilik warung : boleh mbak...
Yudi : boleh ya pak
(dengan wajah setengah ngga percaya, mungkin)
si pemilik : iya mba, bantuin saya melayani pelanggan...
(uhhh,,,,akhirnyaaa.....mungkin begitu gumam hati Yudi...yg jelas dia segera bergegas membantu di dapur si penjual tahu gimbal ini)

ceritanya, si tokoh namanya Yudi, klo ngga salah inget sih...cewe, tapiii....cacat kaki, yg kae polio gitu...g ga ngerti sebenernya si yudi ini bener2 ditokohkan di reality show ini ato emang dia bener2 mo cari kerja. nurut g sih harusnya dia emang bener2 cari kerja dehh...caranya si yudi meminta2 kerjaan sungguh membuat g berpikir, beruntungnya g yg sehat walafiat, jasmani dan rohani tanpa cacat fisik spt yudi ini, yg berulang kali diusir, pdhl dia ampe bilang udah pak/bu ngga usah dibayar ngga pa-pa, cukup dikasih makan ajaaa.........sampe akhirnya ada seorang penjual gimbal udang yg ngasih dia kerja, sbg pelayan....
itu terjadi setelah dia berkali2 keliling dari warung ke warung, toko ke toko. caranya orang nolak dia sungguh bikin g ngga abis pikir, kan cacat itu bukan kesalahan dia, apa sih susahnya kasih kerjaan administrasi klo emang ada tempat, klo engga ada sih mo bilang apaa....
nah yg bikin g "merebak" lagi pas si yudi mo dikasih berkat 1 juta rupiah ama reporter reality show ini dia sambil menangis meraung2 dan tersengguk2, mungkin saking terharunya antara dikasih kerjaan jg dikasih berkat duit ini...sambil menutup wajahnya dg map jambon yg tadi dia bawa.
dan waktu si bapak tukang gimbal ini ditanya apa motivasinya nolong si cewe ini, jawabnya sederhana aja, krn dia ngrasain susahnya dulu cari kerja, jd dia mau nolong...dan sbg imbalan, si bapak jg dikasih berkat uang...

sungguh dijaman yg segala sesuatunya serba lebih dipermudah, kadang membuat kita ngga lebih peka sama orang yg memiliki kekurangan...semoga aja g ngga jadi salah satu bagian dari mereka....thanks God g udah dikasih kesempatan nonton episode kali ini...
.

Kamis, Maret 17, 2005

Color and Personality

dapetnya gara2 nengokin blog cruiser neh...ternyata setelah g baca kok rasanya banyak baeknya, apa emang yg laen jg gitu yach...? ga sempat ngecek sih...meskipun banyak benernya jg seehhh......
*ge-er.com*

ini g share yang punya g nih...


You are Orange Wolf type, who is plain and simple.
You give an impression of being very clean and tidy.
You don't get shy and are open sort of woman.
You are very straight forward in that you do not really care about the others feelings and emotions.
Therefore people think you lack feminine consideration.
You are intelligent person, and have wide knowledge.
You will not be influenced by emotions and therefore can make decisions objectively.
You can express your individuality well, but in personal life, you tend to build a wall around you and will not let others intrude your life. This makes you open to criticism.
You think high of your private life, and may not be able to see the situation you are placed.
You can make calm decisions, and your criticism may give a wrong impression of you, but really you are kind and generous person. To those who can read your true feelings, they will appreciate your greatness.
You don't have any wicked feelings, and are person of pure heart.
You show humane generosity to people around you.
You don't care about public opinion, and you live your life at your own pace.
You will take time as long as you think is necessary before you come up with conclusion that you believe to be reasonable. And once you decide on things, you will go for a long term version, and your result will be consistent and steady.
You can observe men well, and will choose by taking your future into consideration.
After getting married, you will be better at being a mother than a wife.
You will not depend on your husband so much and will have an ideal family.